BAB 6 - Jawaban Getir

7.7K 840 113
                                    

DAPAT 65 Vote [Total jadi 560 vote], UPDATE LAGI Kamis.

Kalau enggak, ya Jumat!

Kemarin nanggung banget, kurang 11 vote doank. T_T

.

Btw, PILIH namanya LAZU APA BRAM?
Sebelum cerita jauh.🙈

Kalau ada 20 orang komen 'Mau Lazu' / 'Mau BRAM', Shirei ikuti YANG TERBANYAK mulai bab depan.

Yang baca kan 50-an. Separuh kurang dikit cukup lah buat vote. Cus dipilih...

Kalau nggak nyampe, pakai BRAM aja, ya?

Kalau nggak nyampe, pakai BRAM aja, ya?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ruang VIP benar-benar besar. Tak lama setelah suster berpamitan, Pak Bram masuk ke kamarku.

"Bagaimana hasil pemeriksaannya, Bu?" Dia berdiri di sisi ranjang. Menjaga jarak.

"Alhamdulillah a'la kulli hal, saya hamil, Pak." Aku berusaha mengatakan alhamdulillah sebagai bentuk syukur apa pun takdir Allah yang diberikan padaku.

"Apa Ibu akan tinggal bersama orang tua?"

Aku mengangguk. "Sebenarnya saya disuruh bed rest selama seminggu. Jadi, tampaknya saya akan diam dulu dikosan, Pak. Saya baru bisa mulai bekerja kalau Bu Dokter mengizinkan." Wajahku mungkin terlihat sangat menyesali janji yang tak bisa kupenuhi untuk bisa langsung bekerja besok.

"Kos?"

"Iya. Proses perceraian tidak memberikan saya harta gono-gini. Hanya beberapa juta dan baru akan dibayarkan akhir bulan ini. Baru mungkin saya bisa ke rumah orang tua di Surabaya."

"Apa Ibu bisa masak atau beli makanan jadi?" Pak Bram masih mencecarku dengan pertanyaan penuh kekhawatiran.

"Harus masak, Pak. Duitnya nggak cukup kalau beli." Aku berusaha tertawa. "Ya, sebenarnya kakak ipar saya mau saja mentransfer uang atas permintaan mbak kandung saya. Tapi, saya tidak tega mengganggu cash flow mereka."

Tiba-tiba aku teringat soal ruangan VIP ini. "Anu, Pak. Saya merasa sangat bersalah sudah sangat merepotkan Bapak. Kalau nanti saya sudah bekerja, Bapak boleh memotong gaji saya beberapa bulan untuk membayar cicilan biaya rumah sakit kali ini."

"Ibu ngomong apa?" Pak Bram terlihat tak senang dengan pembicaraanku. "Ibu tidak boleh ke Surabaya. Nanti bayinya kenapa-kenapa."

Aku terdiam. Ucapan Pak Bram ada benarnya. Dilihat dari rekam jejak kehamilan sebelumnya, aku memang tak boleh terlalu lelah.

Namun, bagaimana aku bisa makan kalau tidak bekerja?

Pak Bram menarik napas dan pandangannya seolah menajam kala menatapku.

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now