Bab 7 - Masa Lalu

6.9K 761 113
                                    


MasyaAllah, 80 vote!!!!!!

Terima kasiiih!!

Terima kasiiih!!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

[Bram]

Aku masih duduk gamang di kantin kantor. Jujur, jemariku terasa kebas akibat begitu gugup. Kunaikkan posisi kacamata ke atas sekali lagi meski sebenarnya tidak bergeser sejak tadi.

Dalam sembilan puluh menit, aku harus segera ke ruang rapat untuk memperkenalkan diri pada jajaran direksi. Namun, apa aku mampu? Usiaku masih sangat muda. Masih 32 tahun. Memegang jabatan tertinggi di perusahaan milik Papi rasanya terlalu cepat. Apalagi ini kerajaan bisnis dengan banyak anak perusahaan yang tersebar di penjuru Indonesia.

Aku ingin memulai semua dari bawah agar aku bisa lebih memahami seluk-beluk perusahaan. Namun, sejak Papi mendadak terkena stroke hingga mobilitasnya berkurang drastis, beliau langsung membebankan tanggung jawab ini kepadaku.

Beliau berkata kalau aku tak perlu memulai dari awal. Papi sudah percaya kemampuanku karena sudah cumlaude baik saat S1 maupun S2 Management Business. Aku memang sudah sempat bekerja memimpin salah satu anak cabang perusahaan dan bahkan menjadikan perusahaan Papi menjadi bahan skripsi dan tesis. Aku bahkan mengikuti program insinyur untuk mendapatkan sertifikasi profesi.

Namun, bagaimana pun, aku tetap gugup. Semua bahan presentasi sudah kupersiapkan. Aku juga sudah membuat perencanaan perusahaan untuk tiga bulan, enam bulan, dan satu tahun ke depan. Berapa kali pun aku berusaha meyakinkan diri, semua seolah dipentalkan rasa kekhawatiran yang menggunung.

Pesananku masih tak tersentuh. Mie ayam itu tampaknya sekarang sudah mengembang dengan sempurna karena kudiamkan hampir sepuluh menit lamanya sejak mendarat di mejaku. Pikiranku kacau. Aku benci sifat mudah gugupku ini!

Papi terlalu perfeksionis hingga sedikit saja kesalahan membuatku dimarahi habis-habisan. Mungkin itu yang membuatku saat ini takut setengah mati. Aku khawatir menghancurkan perusahaan yang sudah hampir tiga puluh tahun dibangun orang tuaku.

"Bapak baik-baik aja?" Suara seorang wanita yang begitu lembut terdengar.

Aku mendongak dan melihat seorang wanita berparas manis. Kulitnya sawo matang, tapi bersih. Matanya berbinar penuh semangat. Hidungnya mungil, tapi justru menambah kesan manis. Bibir tipisnya hanya dipulas lipstik tipis-tipis. Rambut lurus hitamnya digerai sepanjang siku. Terlihat begitu lembut.

"Ah, memang kenapa?" Aku balik bertanya keheranan ada apa wanita secantik ini menghampiriku.

"Mi Bapak ngembang, tuh. Terus Bapak juga terlihat bengong sedari tadi. Saya sempat berpikir kalau Bapak pingsan sambil melek." Dia terkekeh pelan masih tetap berdiri di sisi meja.

Aku berdeham berusaha menyingkirkan rasa malu yang menyergap. Caranya tertawa begitu natural dan tak dibuat-buat.

"Syukurlah kalau Bapak nggak kenapa-kenapa." Tanpa izin, wanita itu duduk di hadapanku. "Mau wawancara kerja di sini?"

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now