BAB 9 - Alasan di Balik Rasa Cinta

6.2K 733 82
                                    

DAPAT 88 Vote [Total jadi 538 vote], UPDATE LAGI Selasa.

Kalau enggak, ya Rabu!

Ini kemarin Shirei sakit. Plus vote-nya kecil banget. Cuma 60-an. 

Padahal bab 7 tuh 101 vote, lho! Masyaallah....

Ditunggu vote dan komennya, yaaaaa!!

Ketika tirai disibak, sosok pemuda tersenyum padaku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ketika tirai disibak, sosok pemuda tersenyum padaku.

"Permisi, Bu. Saya mau mengantarkan makan malam."

Ah, ternyata petugas rumah sakit. Entah kenapa aku sedikit kecewa. "Buka aja gordennya, tolong taruh di meja sini," balasku.

Maka saat itulah gorden terbuka memperlihatkan petugas bagian gizi rumah sakit membawa nampan berisi makan malamku. Di belakangnya berdiri Pak Bram yang tersenyum lembut.

Petugas rumah sakit pun menunaikan tugasnya sebelum kemudian mengangguk dan berpamitan.

"Apa semua baik-baik saja?" Pak Bram bergerak mendekat.

Mendengar pertanyaan penuh simpati itu pertahananku patah sudah. Aku menangis dan menggeleng. Rambutku rasanya sudah awut-awutan karena terlalu sering kuacak gusar.

"Saya nggak tahu, Pak. Saya nggak yakin kuat. Tapi, saya harus kuat. Demi anak ini. Saya nggak mau anak saya meninggal lagi." Aku menunduk berusaha menyembunyikan wajah yang mungkin sudah berantakan dan kotor dengan air mata.

Pak Bram tak bicara kecuali mendekat dan menyeret kursi, lalu duduk di sebelahku yang menangis semakin keras. Aku lelah. Aku hanya ingin kembali menata hati. Aku hanya ingin fokus membesarkan bayi di kandungan ini. Namun, ternyata aku tidak setegar itu.

Sayangnya, aku tak bisa memblokir Mas Adnan dengan anaknya di perutku. Hanya saja, aku butuh jeda. Aku ingin beristirahat meluruskan semua benang kusut di kepala.

Apa Mas Adnan akan terus menggangguku?

"Pak, bagaimana agar Mas Adnan tak lagi mengusik saya? Setidaknya sampai saya tahu jenis kelamin anak ini," bisikku tanpa sadar.

"Jenis kelamin?" Pak Bram bertanya dengan nada tak yakin.

Aku mendongak dan terkejut aku telah kelepasan bicara. Semua emosi ini membuatku tak berpikir jernih. Tadi aku memang sempat bercerita bahwa aku khawatir tentang Mas Adnan akan mengambil hak asuh anakku, tapi belum menjelaskan alasan detailnya.

Apa aku harus menceritakan semuanya? Apa Pak Bram bisa memahami cara berpikir Mas Adnan sebagai sesama lelaki? Apa dia bisa memberikan solusi? Aku tidak punya kenalan pria yang kupercaya. Hanya Pak Bram satu-satunya. Aku kembali menunduk.

"Mas Adnan menalak saya, karena bayi di kandungan saya dulu perempuan." Akhirnya aku berterus terang. "Dia ingin anak pertamanya harus laki-laki."

Kali ini aku tak mendengar ada tanggapan sama sekali hingga takut-takut aku mendongak.

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now