Bab 65 - Ketegasan yang Dinanti

1.3K 171 79
                                    

Up tetap per 5 hari KECUALI nyampe 123 vote. Langsung aku up.

Sudah ready di draft semua. Siap pencet publish langsung

 Siap pencet publish langsung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

RAYA

Aku tak tahan mendengar keributan antara Mas Reza dan Mbak Laura. Aku harus melakukan sesuatu agar pertengkaran ini tidak sampai berlarut-larut.

"Wah ternyata suara Mbak Laura dan Mas Reza. Kirain siapa." Aku membuka pembicaraan dengan berbasa-basi sejenak.

"Ah, maaf. Apa kami mengganggu tidurmu?" Dibandingkan Mbak Laura, Mas Reza terlihat sangat merasa bersalah. Sedikitnya aku jadi kasihan.

"Oh, enggak apa-apa, Mas. Memang kebetulan Raya mau keluar ngelihat Daffa sama mau ngecek dagangan." Aku berusaha mencairkan kegugupannya

"Daffa sedang tidur. Baru aja ditidurkan sama Mami habis kuajak main bola di depan."

"Kamu tuh kurang kerjaan banget, sih!" Mbak Laura tiba-tiba menunjuk-nunjuk dada Mas Reza kesal. "Anak orang diurusin! Kasih emaknya aja, lah! Enak banget emaknya cuma tiduran santai-santai nggak kerja!"

Mas Reza hanya tersenyum tipis membalas perkataan Mbak Laura yang ketus. "Ya nggak apa-apa, tho? Aku suka anak kecil. Lagian, Daffa tuh nggak rewel. Ini juga latihan kalau kita kelak punya anak."

Mbak Laura mendengkus sembari mencebik sinis. "Iya... iya. Kalau kita punya anak, kamu yang urus semua, ya. Biar aku senang-senang aja. Udah capek-capek berkorban jadi buncit dan gendut kayak Raya, ogah banget sampai disuruh repot nyebokin segala."

Aku terdiam memandang Mas Reza yang tampak menarik napas panjang diam-diam. Apa Mas Reza tak menyadari sama sekali bahwa itu adalah kode bahwa Mbak Laura nggak suka punya anak?

"Mbak Laura nggak suka anak kecil, ya?" Aku pun langsung masuk ke inti masalah.

Akan tetapi, Mbak Laura justru bersedekap dengan angkuh. "Itu urusanku, bukan urusanmu!"

"Ah, maaf kalau Raya ikut campur. Namun, kalau Mbak nggak suka punya anak, tidak perlu menghabiskan uang keluar negeri untuk mencoba memiliki anak. Apalagi bukan pakai uang sendiri." Kali ini aku tidak lagi menutupi kekesalanku. Namun, kujaga ekspresiku tetap tenang seolah kalimat tadi hanyalah hal biasa bagi siapa pun.

"Suka-suka aku dong mau jalan-jalan ke mana!"

"Oke, suka-suka kami juga kalau nggak kasih uangnya mulai sekarang." Aku tersenyum.

"Kamu berani mengobrak-abrik kebiasaan di sini! Padahal kamu orang baru!"

"Maaf, Mas Reza, tapi sekolah Daffa butuh biaya besar. Itu kebutuhan primer. Belum nanti adiknya. Kalau nanti Mas Reza dan Mbak Laura punya anak, InsyaAllah kami akan memberikan sekolah terbaik juga buat mereka. Makanya, mari kita sama-sama berhemat. Mas bisa mengerti itu, kan?" Aku menatap Mas Reza dengan memohon.

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now