Bab 55 - Kemelut Hati Bram

2.1K 196 71
                                    

Pause dulu seminggu or dua minggu, ya.

Mau kebut nulis Banana Split buat naik cetak. Ditunggu editor akhir November untuk 8 bab Novella [10k kata]. Baru jadi 2k

Kecuali dapat 155 vote, aku up pas H+2 setelah vote terpenuhi [Harus ditulis dulu Krn ada perubahan besar-besaran]

Kecuali dapat 155 vote, aku up pas H+2 setelah vote terpenuhi [Harus ditulis dulu Krn ada perubahan besar-besaran]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setiap usai makan malam, Bram tampak semakin lelah. Di kamar, pria yang kembali mandi itu kini bertelanjang dada ketika merebahkan diri di kasur. Suara tarikan napas yang terdengar menandakan kalau Bram sangat letih. Raya naik ke ranjang dan membelai rambutnya yang masih lembab.

Aroma sabun dan sampo yang menguar membuat wanita itu merasa nyaman. Raya sangat menyukai aroma tubuh suaminya seusai mandi.

"Mau Raya pijit?"

Bram hanya menggeleng. Raya sedikit kecewa mendengar penolakan itu. Pasti karena suaminya tak ingin membebani. Padahal, Raya cukup yakin pada kemampuan memijatnya.

"Capai?"

Kali ini Bram hanya menarik napas panjang sekali lagi sebagai bentuk persetujuan.

"Mas, sudah, jangan bekerja terlalu keras. Sudah cukup. Mas sudah cukup banyak berkorban buat Mas Reza. Jangan menyakiti diri lebih dari ini." Raya ikut merebahkan diri di sisinya.

Bram memutar badannya menghadap istrinya. Wajah mereka begitu dekat sekarang. Raya menikmati kebersamaan ini. Dia bisa melihat dengan detail mata kecokelatan kesukaannya itu kini tak bersinar terang. Bulu mata panjang yang lebih lentik dari miliknya itu tak membuat Bram terlihat cantik, tapi justru makin memesona. Bahkan bibir yang kini membentuk garis lurus akibat menahan semua derita pun terlihat sempurna.

Ya, Tuhan! Raya merasa, dia sama bucinnya dengan Mas Reza. Hanya saja, Raya bucin pada orang yang tepat.

"Tapi, kalau mereka menghabiskan uang Ibu bagaimana?" Bram akhirnya bicara.

"Mau Mas punya uang seratus juta atau satu milyar, Mbak Laura akan tetap menjadi parasit dan menghabiskan semuanya. Jadi, bukannya mendingan Mas kerja biasa aja lalu simpan uangnya dalam bentuk lain."

Mas Bram terdiam memandangku. Tatapannya meredup.

"Mas lelah, Say. Mas cuma ingin hidup tenang. Tidak apa Mas membayari keperluan hidup Mas Reza. Membiayai keperluan anak-anaknya kelak. Namun, bukan kebutuhan tersiernya. Sekaya-kayanya orang, jika dipakai seperti itu terus, semua akan miskin pada waktunya." Mas Bram menarik tubuhnya ke bawah dan menempelkan kepalanya di dada Raya. "Mas nggak pengin kamu sampai tersakiti gara-gara mereka."

Raya merengkuh tubuh kukuh suaminya yang kini terasa begitu kaku. Dia membelai dan memijat lembut punggung Bram dari tengkuk hingga ke pinggang. Otot-ototnya yang tadi sempat menegang, setelah beberapa saat kini terasa lebih rileks.

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now