12. Hyacinth

864 68 2
                                    

Keheningan di tiap sudut ruangan membuatku meringis

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Keheningan di tiap sudut ruangan membuatku meringis. Aku merinding merasakan atmosfir baru yang Papa ciptakan di rumah ini.

Tempat berlindung yang kusebut rumah kini menjadi asing dan membuatku tak ingin berlama-lama di dalam sana.

Tinta hitam adalah pelampiasanku. Tanganku bergetar ketika menggores permukaan kertas dengan sebilah pena.

Semesta begitu besar

Aku hanya menginginkan sedikit dari bagiannya

Bahagia

Aku lupa rasanya meresapi setiap suara goresan pena yang seharusnya membuatku tenang.

Aku memohon untuk dibersihkan dari rasa sakit ini

Dari keheningan dan kekosongan yang membunuhku

Beri aku jeda sebentar saja

Tidurku diserang mimpi buruk tak berkesudahan. Tengah malam aku terbangun, menatap jam dinding dan berharap sudah saatnya aku bersiap dan berangkat sekolah agar terbebas dari mimpi buruk itu. 

Hingga pagi tiba, aku masih tetap terjaga. Badan lemas, mata sembab, dan wajah yang pucat. Tetap saja, tidak ada tanda-tanda kegiatan di dalam rumah. Harapan menemukan keadaan rumah kembali seperti semula tidak akan terkabul semudah itu.

Aku memutuskan berangkat sekolah. Tanpa sarapan, bahkan tanpa melihat keberadaan Bunda dan Papa.

Di tengah perjalanan, aku melihat Abel berangkat dengan salah satu teman cheers-nya. Dengan polosnya dia melambaikan tangan dan dengan munafiknya aku tersenyum tulus kepadanya.

Aku senang kegiatan rutin Abel menangis dibahuku tidak berlanjut lagi. Dia bahagia dengan dunianya, lalu kenapa aku dengan lancang membenci caranya bahagia?

Bahkan lanskap kota terlihat keruh dan tak nyaman dipandang lagi. Dadaku sesak merasakan oksigen di atas rooftop.

Di mana aku bisa mendapatkan ketenangan jika tempat ini tidak berhasil membuatku tenang?

Tanganku meremas surat-surat yang kutulis semalam. Memang sesakit itu.

"Ra, gue udah coba kerjain soal yang lain." Terdengar suara Vicky dari belakang. "Tapi gue masih nggak yakin sama jawaban nomor enam. Lo bisa periksa nggak?"

Vicky menunjukkan buku berisi jawaban-jawaban pr-nya. Aku menoleh tanpa malu menunjukkan wajah basah dan mata bengkak.

Vicky mengerutkan kening. "Kenapa lo?"

Sorotan peduli dari mata Vicky membuat air mataku bersusulan keluar. Perasaanku makin hancur karena menyadari betapa lemahnya diriku di depan seorang laki-laki yang punya beban lebih besar tapi dia berhasil baik-baik saja.

Vicky menarik dengan paksa surat-surat di tanganku. Dia membaca dengan seksama apa yang kutulis di sana.

Vicky menghela napas berat. "Cowok yang pernah jemput lo itu? Dia Rendra?"

EVIDEN (END)Where stories live. Discover now