31. Russelia

533 59 2
                                    

Pencet bintangnya dulu yuk, gratis kok.

Perjalanan pulang terasa sangat canggung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perjalanan pulang terasa sangat canggung. Aku lelah. Tak ada tenaga untuk mengajak Vicky bicara.

Kami masih berada di atas motor untuk pulang. Air mataku masih terus mengalir. Aku berusaha menyembunyikannya karena sejak tadi dia mengawasiku lewat kaca spion.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, entah kenapa aku lebih mengkhawatirkan apakah aku bisa tidur nyenyak malam ini, alih-alih khawatir Bunda akan memarahiku karena pulang telat.

Aku terlalu banyak melamun sehingga tak sadar kami sudah berada di depan gerbang dan Bunda sedang menungguku dengan tangan terlipat di depan dada. Dilihat dari lirikan matanya, sepertinya Vicky akan jadi korban kemarahannya setelah kami turun nanti.

"Vicky, stop!" perintahku sambil menepuk bahu Vicky begitu kami tiba di depan pagar rumah yang agak jauh dari gerbang.

Aku meloncat turun dari motornya. Buru-buru berjalan ke arah gerbang yang jaraknya hanya sekitar sepuluh langkah lagi. Namun Bunda sudah lebih dulu mendatangiku dengan ekspresi emosi.

"Siapa nama kamu?" tanya Bunda sambil menatap sinis ke arah Vicky.

Vicky melepas helmnya.

Aku tidak mengerti kenapa Bunda terlihat syok ketika Vicky membuka helmnya hingga memperlihatkan wajahnya dengan sempurna.

"Kamu yang kemarin buat keributan di rumah sakit itu, kan? Kamu melawan penjaga di rumah sakit sampai pukul-pukul dia," omel Bunda.

Aku menatap tak percaya.

Vicky mengalihkan pandangan. Dia selalu melakukan itu ketika merasa bersalah.

"Kamu jangan temenan sama anak seperti dia, Ra." Bunda menarik lenganku untuk menjauh dari Vicky.

"Tante, tolong jangan marahin Samara!" Vicky turun dari motornya. Aku tidak percaya dia mengejarku.

"Vicky, udah lo pulang aja, ya!" bisikku ketika Bunda menoleh dengan bibir menipis.

Bunda melepaskan tanganku dari pegangannya. Dia maju dua langkah ke hadapan Vicky.

"Samara, balik ke rumah."

Aku menghapus air mata di pipi dan menunjukkan ekspresi baik-baik saja.

"Bunda, jangan marahi Vicky. Rara nggak nangis karena dia---"

"Bunda bilang pulang ke rumah, sayang!" Bunda menahan diri untuk tidak berteriak seperti yang pernah dilakukan papa.

Aku tidak berani melawan. Terakhir kali aku melawan, hubungan keluarga ini rentak. Sekali lagi aku melawan, mungkin akan hubungan ini akan hancur.

Kakiku terasa berat melangkah ke dalam rumah. Aku menatap lurus ke arah Vicky dan memberinya pesan lewat tatapan mataku, bahwa aku merasa sangat bersalah padanya.

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang