29. Magnolia

590 61 4
                                    

Vote dulu kakak 🙏

Aku tidak tau dimana rumah Alam, tapi dia pernah memberiku lokasi lewat google maps. Kata Alam, rumahnya dekat dengan alun-alun kota.

Aku meraih jaket di dalam lemari dan memakainya sebelum Bunda menceramahiku untuk menjaga suhu tubuh tetap normal agar tidak jatuh sakit.

"Nanti Rara balik sebelum jam 10, Rara janji!" seruku ketika Bunda mengawasi dari pintu dapur.

"Kamu keluar sama siapa?"

Kakiku tersandung vas bunga di bawah tangga, aku memekik lalu melanjutkan langkah. "Sama teman Rara."

"Siapa?"

"Vicky."

"Cowok?" seru Bunda dengan ekspresi curiga. Nadanya naik satu oktaf.

"Tenang aja, Bun. Vicky akan jaga Rara."

"Tapi kamu---"

Aku tidak bisa mendengar kalimat selanjutnya karena aku sudah berada di luar dan menutup pintu. Aku tidak mau ada banyak drama sehingga acaraku malam ini tertunda.

Sebelum berhasil memberitau Alam tentang perjodohan itu dan tau reaksinya, aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak.

"Pak, bukain gerbangnya!" perintahku kepada Pak Prapto yang menatap kebingungan. Ini adalah kali pertama aku keluar malam. Bukan cuma Pak Satpam, aku juga heran kepada diriku sendiri kenapa bisa seantusias ini.

"Mau kemana, Non?"

"Mau ke rumah temen."

"Perlu diantar?" tanya Pak Prapto sambil mendorong gerbang agar membuka.

"Nggak usah. Rara sama teman."

Vicky sudah memarkikran motornya di depan gerbang. Pak Prapto menatap curiga ke arah Vicky yang mengenakan helm. Aku langsung naik ke jok belakang dan berpegangan pada bahu Vicky.

"Udah," seruku. Vicky langsung melajukan motornya. Pak Prapto plonga-plongo di depan gerbang, tak bisa mengatakan apa-apa.

Udara malam menerbangkan rambutku yang sengaja kuuraikan agar leherku tidak dingin.

Aku lebih mendekat ke arah Vicky agar lebih hangat. Ada dua paperback di depanku yang menghalangiku mendapatkan kehangatan dari punggung Vicky.

"Ke mana?" tanya Vicky di tengah perjalanan.

"Ke rumahnya Alam."

"Lo tau rumahnya Alam?"

"Tau."

Aku membuka ponsel dengan hati-hati agar tidak terbawa angin karena Vicky mengendarai dengan ugal-ugalan. Jarak yang harus ditempuh tidak begitu jauh, sekitar satu kilo.

Aku melirik ke arah kaca spion. Wajahnya samar-samar terlihat karena gelapnya malam. "Lo kemana aja sih, kenapa nggak pernah berangkat sekolah? Gue sendirian di sekolah, tau."

"Nggak papa."

"Lo bilang di apartemen. Apartemen mana? Emangnya lo punya apartemen?"

Dia menjawab dengan kalimat yang panjang. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, bahkan satu kata pun tak ada yang berhasil kutangkap.

Plak

Aku menggeplak bahunya. "Pelan-pelan dikit, nyetirnya! Gue nggak dengar."

Vicky memelankan laju motor. Aku maju beberapa senti ke punggungnya hingga paperback di depanku berbunyi krak. Sepertinya ada sesuatu yang patah.

"Lo bilang apa tadi?" tanyaku memastikan.

"Nggak papa," sahutnya dengan nada naik satu oktaf sehingga terkesan membentakku.

EVIDEN (END)Where stories live. Discover now