32. Amarilis

500 60 3
                                    

Pagi hari telah tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari telah tiba. Kelopak mataku seolah merekat, aku susah payah membuka mata untuk melihat sinar mentari yang menerobos menyedihkan lewat celah-celah gorden.

Seluruh tulang di tubuhku seolah retak. Padahal kegiatan paling berat yang kulakukan kemarin hanyalah mengangkat lima belas buku paket dari kelas ke perpustakaan.

Aku menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam. Mendadak aku teringat kejadian semalam yang membuat tubuhku luar biasa lelah.

Apa yang akan terjadi di sekolah nanti? Bagaimana jika aku bertemu dengan Alam di parkiran? Aku berharap Vicky ada di sana untuk menemaniku atau aku mungkin akan memukul Alam dengan tongkat kasti jika kami tak sengaja berpapasan.

Pukul setengah tujuh, Abel dibantu Pak Prapto naik ke dalam mobil sedangkan aku membelok ke arah dapur tempat Bunda sedang mengobrol dengan Bi Ratmi.

"Bunda, semalem ngomong apa ke Vicky?" tanyaku dengan nada curiga.

Bunda yang sedang asyik mengobrol langsung menyuruh Bi Ratmi meninggalkan dapur sehingga kami bebas bicara tanpa takut dicuri dengar.

"Jadi, cowok yang semalam buat kamu nangis itu namanya Vicky?" sahut Bunda santai.

"Jangan bilang Bunda suruh Vicky jauhin Rara?" Aku menatap penuh selidik ke arahnya.

"Bunda harus tau kalau orang yang buat Rara nangis itu bukan Vicky, tapi Alam," sambungku.

Bunda menatap serius. "Ya, Bunda suruh dia jauhin kamu supaya kamu nggak diajarin ngelawan orang tua lagi sama dia."

Aku menatap penuh belas kasih ke arah Bunda. "Bunda, please, jangan mulai perkelahian lagi. Udah cukup Rara ada konflik sama Papa, sama Bunda nggak usah."

"Cukup katamu?" Bunda menaikkan nada bicaranya.

"Senang punya konflik sama Papa? Kamu nggak ada usaha sedikitpun untuk mengakhiri konflik kamu sama Papa karena kamu bangga bisa melawan Papa?"

Aku tidak menyangka akan jadi separah ini. Kupikir kami hanya akan saling bicara dengan tenang dan saling mengerti, tapi emosi Bunda sepertinya sudah tidak terbendung.

"Kami melakukan semua ini karena kami sayang sama kamu, Ra. Kami mau yang terbaik buat kamu."

Hari ini akan sama kelamnya seperti kemarin, begitu pula besok dan seterusnya tidak akan pernah ada cahaya.

"Oke," sahutku dengan nada gemetar. "Tapi Rara minta satu permintaan. Jangan paksa Rara menjauh dari Vicky."

"Kenapa? Karena kamu suka anak berandalan kayak dia?"

"Enggak. Karena cuma Vicky yang bisa ngertiin Rara," sahutku dengan nada naik satu oktaf. Bunda terlihat semakin marah.

"Kalau Bunda tetap ngizinin Rara temenan sama Vicky, Rara akan suka sama Vicky."

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang