50. Mimosa

220 28 2
                                    

Perasaan untuk menerima kenyataan semakin besar. Aku masih belum punya tempat untuk melampiaskan emosi yang sempat kupendam dalam-dalam di hadapan Aidan. Begitu turun dari rooftop dan melihat dada Vicky kosong, aku langsung memeluknya dan menumpahkan seluruh emosiku di sana.

Aku memberitahu Vicky apa yang terjadi lewat tangisanku. Dia mengerti maksudku dan mengelus punggungku untuk memberiku ketenangan.

"Gue akan cariin lo cowok lain."

"Cinta pertama nggak akan bisa tergantikan," sahutku di tengah isakan. Memukul dadanya untuk melampiaskan emosi. Tapi aku teringat dengan paru-paru yang ada di dalam tubuh Vicky saat ini. Paru-paru baru yang harus dijaga agar tidak rusak lagi.

"Samara, Abel sadar!" seru Aidan dari ambang pintu.

Aku buru-buru mengusap air mataku dan melepas pelukanku di tubuh Vicky. Aku mendatangi Aidan dengan perasaan tak sabar ingin melihat keadaan Abel. Sebahagia apa ketika menyadari bahwa dia akan bisa berjalan lagi.

"Lo nangis?" tanya Aidan dengan ekspresi curiga. Matanya menyipit ke arah Vicky. Aku tau dia nencurigai Vicky menyakitiku. Nyatanya, dia lah orang di balik tumpahnya air mataku tadi.

"Nggak kok. Cuma kelilipan."

Aidan tidak percaya, tapi dia tidak bertanya banyak. Hanya saja, lirikannya kepada Vicky semakin tajam.

"Doain gue kuat di tengah mereka berdua, Ki," bisikku sebelum melepas pinggangnya yang masih kulingkari.

Kakiku melangkah begitu berat ke dalam ruangan Abel.

Pintu terbuka lebar menuju ke brangkar tempat Abel sedang menarik masker oksigen dari mulutnya. Senyumnya yang terlihat naif membuatku lupa akan rasa sakit yang Aidan berikan.

Aku melangkah cepat ke arahnya dan menumpahkan air mata yang tersisa.

Abel sedikit terkejut melihatku menangis.

"Abel, makasih udah buka mata lo buat gue."

"Lo nggak papa, Ra?" tanya Abel dengan ekspresi miris.

"Gue khawatir sama lo, lah."

Abel berkedip terharu. Dia juga berkaca-kaca.

"Dan, bisa tinggalin kita berdua sendirian, nggak?" pinta Abel membuat Aidan yang semula ingin memotret kami berdua, kini mengangguk pasrah.

Pintu ditutup dari luar begitu Aidan meninggalkan kami.

Aku menatap tetesan darah di tabung yang tergantung di samping benda mirip monitor komputer kuno. Benda itu mentransfer darah ke dalam tubuh Abel.

"Lo ingat, waktu gue bilang kalau gue tau cowok yang selama ini suka sama gue? Gue mau bilang kalau cowok itu adalah Aidan," jelas Abel terus terang.

Jujur saja, bahkan aku sudah lupa dengan kalimat yang pernah dia katakan di koridor itu. Aku sempat berpikir Abel tidak bisa menebaknya. Sekarang dia mengatakan kalau dia tau orang yang menyukainya adalah Aidan. Mungkin mereka memang ditakdirkan bersama.

"Gue nggak tau kenapa. Gue pikir dia sama aja kayak cowok-cowok yang selama ini sering godaian gue. Ternyata dia beda. Dia peduli sama gue. Gue belum pernah lihat cowok punya effort sebesar itu sebelumnya."

Iris gelap Abel berbinar. Memancarkan bunga-bunga cinta. Dia pernah sebahagia ini ketika dia jatuh cinta dengan cinta pertamanya, Adrian.

"Menurut lo, dia punya perasaan ke gue nggak?" tambahnya.

"Nggak perlu ditanya, Bel. Effort yang lo bilang tadi, itu semua semata untuk mencuri perhatian lo," jelasku dengan hembusan napas berat.

"Tapi kenapa dia nggak pernah bilang kalau dia suka sama gue? Jangan-jangan dia suka sama lo, Ra." Raut wajahnya memancarkan ketakutan.

EVIDEN (END)Where stories live. Discover now