51. Morning Glory

237 37 2
                                    

Aku tidak butuh tissue. Vicky selalu jadi yang pertama menghapus air mata di wajahku entah itu dengan senyumnya atau pun caranya menghiburku.

Selama tiga puluh jam perjalanan di dalam pesawat. Aku menghabiskan setengah lebihnya untuk tidur dan menangis. Vicky hanya terdiam, memandangku menangis sampai akhirnya tangisanku reda dengan sendirinya,

"Sakit banget ya, Ki, lihat orang yang kita suka bersama dengan orang lain. Gue kira itu emang yang paling sakit. Ternyata ada yang lebih sakit, mengikhlaskan mereka bersama dan gue berusaha terlihat baik-baik saja."

Vicky menarikku ke pelukannya.

"Gue benci jadi orang yang terlalu sering cemburu. Gue pengen hati gue mati rasa biar nggak merasa sakit setiap kali lihat mereka berdua."

"Gue merasa bersalah karena gue pernah berdoa agar mereka dipisahkan demi menenangkan perasaan gue yang nggak karuan ini. Tapi lagi-lagi, gue keingat Abel."

"Gue bayangin kalau gue jadi Abel. Kehilangan ayah, kehilangan peran ibu dalam hidupnya, harus menghidupi adiknya, diberi cobaan bertubi-tubi. Dia berhak dapat lebih daripada Aidan."

Vicky menatap lurus ke arah mataku. Seolah mengatakan, 'tenang, Ra. Lo jatuh, gue akan bangunin.'

Aku berpikir, sudah cukup penderitaan yang kualami saat ini. Teringat ketika Vicky tertawa di tengah danau, aku merindukan masa-masa bahagia itu kembali.

Hatiku yang sudah hancur lebih hancur lagi ketika aku tiba di rumah. Hamparan rumput yang luas di halaman memperlihatkan mobil papa terpakir di atasnya.

Papa pulang, seharusnya aku bahagia. Namun sosok yang kini duduk di sofa ruang tamu yang membuatku merasa berat melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam rumah.

"Itu, Samara sudah pulang!" pekik Bunda seolah tak pernah tau aku membenci Rendra dan ayahnya yang kini sedang memandangku dari sofa dengan ekspresi antusias.

Sungguh berat menatap balik tatapan mereka. Aku nyaris membuang muka seandainya tidak lebih dulu melihat papa juga sedang tersenyum padaku.

"Pa!" sapaku sambil menedekatinya dan memeluknya.

"Gimana Houston? Papa kepikiran untuk ajak kamu ke sana setelah lulus nanti. Eh, udah keduluan."

Aku merindukan matanya yang sipit dan tertutup kacamata. Dia benar papa yang membesarkanku selama ini, yang kurindukan keberadaannya, dan tentu saja yang membuatku terjebak dalam perjodohan ini.

Aku melepas pelukannya.

"Tanggal pertunangan kalian sudah ditentukan."

Seperti ada jarum di tiap aliran darah yang menusuk-nusuk setiap pembuluh darahku. Sakit, tapi aku tersenyum. Aku bahkan belum punya kesempatan untuk istirahat, Papa memberiku lebih banyak beban untuk dipikirkan.

"Rendra sudah setuju. Sekarang, giliran kamu yang ambil keputusan."

Aku menjadi pusat perhatian. Terutama bagi pemuda yang mengenakan kemeja formal, dia menatapku dengan ekspresi tak bisa diartikan. Bagaimana mungkin sosok asing itu akan menemani masa depanku?

"Rara capek, Pa. Pengen istirahat."

Dadaku sudah bergemuruh emosi.

Bunda melihat gerak-gerikku. Dia tau apa yang sedang kualami saat ini. Dengan santainya dia mengangguk seolah tak pernah tau anaknya sedang dalam hidup dan mati merasakan hati yang hancur bertubi-tubi.

Dengan berat hati dan ekspresi yang seolah ingin mengusirku dari rumah, papa akhirnya menyetujuinya.

Aku masuk ke dalam kamarku. Menguncinya. Melempar tubuhku ke atas ranjang dan melampiaskan seluruh emosiku dengan menangis.

EVIDEN (END)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum