34. Forget Me Not

484 57 2
                                    

Ketika aku bangkit karena sudah tak tahan menahan cemburu, bel masuk berdering

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Ketika aku bangkit karena sudah tak tahan menahan cemburu, bel masuk berdering. Bukan cuma aku saja yang bersiap meninggalkan kaefetaria, anak-anak lain juga bangkit dari kursi mereka dan berlarian keluar kafetaria melalui tiga pintu cadangan dan satu pintu utama di depan sana.

"Samara!" panggil Aidan membuatku memberanikan diri untuk menoleh dengan ekspresi naturalku.

"Ya?" sahutku ramah.

"Can you help me?" Aidan bangkit dari kursinya. Dia sudah berhenti menggoda Abel.

"What can I help you?" aku melirik ke arah Abel. Dia terlihat biasa saja. Tidak cemburu sepertiku meskipun Aidan sedang bicara padaku.

"Bantu cari kelas gue," sambung Aidan.

Aku memastikan Abel sekali lagi, takut dia cemburu, justru dia terlihat mendukungku membantu Aidan lewat tatapannya. "Oke, tapi setelah gue anter Abel ke kelas dulu, ya."

Aidan mengangguk. "Ayo, sekalian gue mau lihat kelas Abel dimana." Aidan tersenyum tulus kepada Abel yang tersipu.

Kami keluar dari kafetaria. Menyusuri koridor yang penuh dengan siswa-siswa penasaran. Lebih dari sepuluh pasang mata jelalatan ke wajah Aidan yang asing. Rambut kecoklatan Aidan membuat mereka langsung menyimpulkan kalau Aidan adalah orang luar negeri.

"Heh, anak yatim, dia siapa?" tanya seorang gadis yang sengaja menoel bahuku ketika kami ingin membelok ke arah lift.

Aku mengabaikan mereka, masih agak sakit hati mendengar panggilan yang seharusnya sudah mereka lupakan. Namun sepertinya label anak pungut tidak akan pernah hilang dari identitasku.

Kurang dari satu menit, kami tiba di lantai dua. Candaan Aidan kepada Abel belum selesai ketika pintu lift terbuka dan mempersilahkan kami keluar.

"Ini kelas gue, Dan. Kelas 12 IPS lima," jelas Abel sambil menunjuk pintu kelasnya.

Aidan mengamati seisi kelas. Kehadirannya langsung mencuri perhatian siswa siswi di sana.

"Sampai sini aja, Ra. Gue bisa sendiri."

Aku melepaskan kursi roda Abel.

"Udah sana, jangan telat masuk!" Abel tertawa kecil setelah memberi saran singkat itu.

Aku dan Aidan melanjutkan perjalanan setelah melihat Abel berada di samping mejanya dengan aman.

"Lo dapat kelas apa?" tanyaku ketika keadaan di sekitar kami terasa canggung.

"Kelas dua belas IPS 1 dimana?"

"Kita sekelas!" seruku membuat Aidan menatap antusias di arahku.

"Really?"

Aku mengangguk.

"Terus, dimana kelasnya?"

Aku lega suasana canggung sudah berubah menghangat. Aidan juga mulai memperhatikanku sehingga aku mati-matian menahan gugup ketika dia menatap ke arahku.

EVIDEN (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora