27. Dandelion

502 53 2
                                    

Dua hari berlangsung menyedihkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari berlangsung menyedihkan. Selama ini aku mendengar retakan tiap kali Abel tertawa di tengah perjuangannya membesarkan Niko, sekarang retakan itu semakin besar dan akhirnya patah.

Harapan Abel sudah patah berkeping-keping.

Seharusnya aku merasa bersyukur terlahir lebih beruntung daripada orang-orang di sekitarku. Namun Abel adalah diriku, aku merasakan sakit yang ia rasakan.

Kalimat Vicky di perjalanan pulang selalu kuingat, "Abel butuh lo untuk semangatin dia, kalau lo nggak semangat gimana lo bisa kasih semangat ke dia?"

Jadi, hari ketiga setelah Abel siuman, aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Bunda bilang, beliau akan menjaga Abel hingga aku pulang sekolah, aku tidak perlu khawatir.

Aku berusaha menjalani hari-hari dengan bersemangat hingga seragam basket mencuri perhatianku ketika aku melewati koridor yang penuh sesak dengan para siswa.

Mendadak aku teringat Alam, tentang kebohongan yang dia katakan untuk mengelabuhiku.

Aku menyusuri koridor untuk mencari tau keberadaan Alam. Hingga menemukannya sedang duduk bersama kedua temannya di perempatan jalan menuju gedung IPA. Heran, kenapa dia suka sekali nongkrong di sana.

"Al!" seruku ketika sampai di hadapannya. Entah kenapa auranya hari ini terlihat lebih cerah daripada biasanya.

Alam setengah tersenyum. "Hay," sahutnya sambil mengawasi kedua temannya yang sedang menatap heran ke arahku.

"Gue mau ngomong sama lo."

Alam bangkit dari duduknya. "Ayo," katanya sambil mendorong bahuku hingga ke balik tembok ruangan OSIS.

"Lo bohong ya?" tanyaku setelah memastikan tidak ada yang tau kami di sini.

Aku berusaha untuk berterus terang agar Alam tidak melantur seperti biasanya.

Alam menautkan alis. "Bohong?"

"Lo kemarin bohong ke gue kalau lo mau latihan basket, padahal nggak ada latihan basket," jelasku tak sabar.

Alam terperangah. Ekspresi bersalah terlihat dari alisnya yang bertaut.

"Ngaku aja, lo bohong, kan?" tuntutku.

Dia menggeleng. Ekspresinya gelisah.

"Kenapa lo berusaha menghindar dari gue? Gue kira ada sesuatu di antara kita." Aku ragu-ragu mengatakan kalimat terakhir itu. Takut Alam mengira aku terlalu percaya diri.

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang