52. Angelonia

257 32 2
                                    

"Bunda punya teman psikolog, kan?" tanyaku di sela sarapan hari terakhir sebelum ujian nasional terlaksanakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bunda punya teman psikolog, kan?" tanyaku di sela sarapan hari terakhir sebelum ujian nasional terlaksanakan.

Papa mengintip dari balik koran. Memandang seluruh anggota tubuhku seolah menemukan ada yang tidak normal. Satu-satunya yang tidak normal dan berhasil terlihat dari luar hanyalah kantung mataku.

Kantung mata itu menjadi jejak depresi yang kualami selama beberapa hari terakhir.

"Kenapa tiba-tiba kamu tanya psikolog?" Bunda mengerling.

"Ada yang bully kamu lagi di sekolah? Siapa?" Papa bertanya dengan nada peduli. Nada yang dulu membuatku tenang itu kini terdengar tak sama lagi.

"Nggak ada," sahutku. Sebisa mungkin mengalihkan pandangan dari papa. Setiap kali tatapan kami bertemu mengingatkanku pada tujuan menyakitkannya mengadopsiku.

Aku menyelesaikan sarapan dan bangkit dari kursi.

"Papa punya hadiah buat kamu," seru Papa membuat langkahku terhenti.

Aku teringat hari ulang tahunku yang tinggal beberapa hari lagi.

"Ada di luar," sambung papa membuatku memaksakan diri untuk tersenyum.

Aku berjalan keluar. Bunda mengikutiku dari belakang sambil merangkul bahuku.

Sebuah sepeda gunung terparkir di depan tangga.

Manik mata Bunda mencari raut bahagia di wajahku. Dia pikir aku akan tertawa histeris, tapi aku hanya tersenyum.

"Ra, Bunda mohon sama kamu."

Bunda berhasil mendeteksi kabut kesedihan yang menghalangi iris mataku memandang dunia.

"Bunda mohon untuk tetap seperti ini. Bunda tau kamu merasa nggak nyaman, atau mungkin ingin memberontak karena desakan papa. Bunda cuma nggak mau ada konflik seperti dulu di keluarga kita. Kasih kesempatan papa untuk bahagia, ya."

"Iya, Bunda," sahutku. "Samara akan bahagiain papa sama bunda seperti janji Samara dulu. Samara akan ngelakuin apa aja asalkan kalian bahagia meskipun harus mengorbankan Samara."

Aku berjalan ke arah sepeda hadiah dari papa. Meninggalkan Bunda dengan perasaan bersalah yang beliau tunjukkan lewat matanya.

Aku naik ke atas sepeda dan mengayuhnya meninggalkan rumah.

Berusaha terlihat baik-baik saja adalah prinsip yang harus kupegang sejauh mana masa depanku nanti.

Untuk apa aku belajar dan masuk Angelo University jika pada akhirnya aku akan menikah bersama orang yang tidak kuinginkan dan orang yang tidak menginginkanku?

Semua hal yang kulakukan selama ini terasa sia-sia, bahkan detak jantungku sendiri lebih baik untuk diserahkan kepada seseorang yang membutuhkan waktu hidup lebih lama daripada aku.

Satu-satunya hal yang membuatku bersemangat hari ini adalah pegumuman ujian minggu depan yang akan dilaksanakan selama empat hari.

Bu Andrea menyuruh semua anak kelas dua belas untuk selalu belajar dan berdoa agar mendapatkan nilai yang sempurna. Aku sebaliknya, ingin sekali nilaiku rendah dan tetap di sini untuk menikmati masa mudaku.

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang