59. Pearl Blossom

286 33 9
                                    

Udah mau end weehhh, nggak ada yang mau speak up apa apa kah?

Bunga-bunga berguguran dari tangkainya, dedaunan kering terbang terbawa angin di taman rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bunga-bunga berguguran dari tangkainya, dedaunan kering terbang terbawa angin di taman rumah sakit. Begitu tak terprediksi, karena dunia tak pernah berada di bawah kendali kita.

Aku melangkah dalam keheningan canggung yang memuakkan. Jariku-jariku bersentuhan dengan jari Aidan. Kami berjalan beriringan dengan perasaan cemas hingga tiba di depan seorang resepsionis muda.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis sambil melirik ke arah Aidan yang sedang menebar pesona kepadanya.

"Saya cari pasien dengan nama Darel Vicky Raditya," jelasku sambil menarik tubuh Aidan dari depan meja resepsionis sehingga kini dia berdiri di belakangku.

"Darel Vicky Raditya berada di ruang HD nomor 18 lantai tiga."

"Terima kasih." Aku meraih tanda pengenal yang resepsionis itu berikan, sebuah tanda yang bertuliskan status kami sebagai pengunjung atau keluarga pasien.

Tubuh kami diangkat oleh lift. Di sampingku, seorang anak laki-laki dengan kepala bersih tak berambut bermain robot dengan ekspresi polos. Hidungnya terpasang selang oksigen. Dia duduk di samping suster yang kelihatan kelelahan.

Setiap kali berada di rumah sakit, aku merasakan betapa beruntungnya aku hidup selama ini, betapa beruntungnya aku bisa bernapas dengan tubuh yang normal.

Kami tiba di depan ruangan HD nomor delapan belas. Aku memastikan dengan ragu apakah Vicky ada di dalam sana dan entah apa yang sedang dia lakukan.

Sosok wanita berambut bergelombang dan berkacamata lebih dulu keluar. Bibirnya tipis di bawah hidungnya yang terdapat tanda lahir berwarna hitam.

Aku mengintip di antara celah pintu. Wanita berjas putih itu menutup pintu dengan rapat sebelum aku berhasil mencari tau apa yang ada di dalam sana.

"Maaf, dokter," kata Aidan karena aku tak sanggup bertanya. "Apakah pasien di ruangan ini bernama Vicky?"

Iris hitam itu mengawasi mimik wajahku dengan ekspresi curiga. Lalu mengangguk.

"Samara, ya?" tebaknya membuat napasku agak tertahan. "Boleh kita bicara sebentar?"

Darahku berdesir mendidih melihat ekspresinya yang serius. Aidan mengikutiku masuk ke dalam sebuah ruangan kerja seorang dokter senior.

Wanita itu duduk di kursi putar dan menyuruhku duduk di depannya.

"Kamu pasti heran kenapa saya kenal kamu."

Jelas, dan aku ingin tau sekarang juga apa alasannya.

"Vicky sering cerita tentang kamu."

Kedua alisku bertaut.

"Sebelumnya, saya Dokter Patricia, orang yang selama ini merawat Vicky sejak dia masih di Australia. Begitu dia pindah ke sini, saya ikut pindah. Saya sudah menganggap Vicky sebagai putra saya sendiri."

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang