16. Gerbera

910 61 2
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Genap dua hari aku tidak berbicara dengan siapa-siapa, baik Vicky, Abel, maupun Papa dan Bunda. Jujur, sangat tersiksa.

Selama dua hari terakhir Vicky memesankan aku taksi agar aku bisa pulang dengan aman karena dia tau tidak mungkin aku mau menerima tumpangan darinya. Setelah tau pesanan taksi itu darinya, aku memilih mengayuh sepeda dan berpanas-panasan untuk pulang ke rumah.

Vicky menghubungiku berkali-kali. Memberiku beberapa pesan yang mengatakan bahwa dia tidak tau kalau Raka ternyata sudah punya pacar. Itulah awal kali kami saling mengobrol lewat chat.

Seharusnya aku tidak marah, karena mendapatkan sang idola tidak mungkin bisa semudah ini, tapi entah kenapa perkataan Vicky yang terngiang dalam otakku yang membuat emosiku menumpuk.

'Aku tidak mengerti, tapi sepertinya menulis surat dan melihat pemandangan dari atas rooftop tidak bisa membuatku tenang seperti dulu.

Kemarahan Papa hanya sementara, mungkin tiga empat hari bisa reda, itu yang kupikirkan, tapi sepertinya kemarahan Papa sudah berada di level yang berbeda. Aku merasa menjadi oang asing yang sedang menginap di rumah kontrakan dengan jaminan untuk tetap tinggal.'

Aku menghabiskan waktu di taman belakang pos satpam saat jam istirahat berlangsung.

Sejauh mata memandang, hanya dedaunan gugur di atas rerumputan, bangunan pos yang catnya sudah mengelupas menyedihkan. Benar-benar tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Mataku menatap kosong ke arah rerumputan basah karena embun. Sudut mataku menemukan sesuatu yang bergerak di samping kiri. Aku menoleh dan melihat Vicky duduk di sana.

"Ada yang lagi nunggu lo," kata Vicky.

Siapa lagi? Seseorang yang terlihat seperti harapan, tapi ternyata berakhir mengecewakan?

"Dia di depan kelas," sambung Vicky membuatku menatap iris hitamnya yang tulus.

Aneh, dia tidak terlihat berbohong, tapi kenapa semua yang ia lakukan ternyata kebohongan?

"Bukannya minta maaf, justru lo mau ngecewain gue lagi?" sahutku tak bersemangat.

"Kali ini gue nggak akan ngecewain lo," sela Vicky sebelum kalimatku selesai. Bibirnya membengkok ke atas. Aku tidak tau kenapa dia tersenyum.

Aku meraih 'Konflik Peradaban Bangsa Arya dan Bangsa Indus' dan 'Indonesia Tanpa Belanda' yang kumpinjam di perpustakaan beberapa saat lalu. Bangkit berdiri dan meninggalkan Vicky tanpa bicara apa-apa.

EVIDEN (END)Where stories live. Discover now