25. Black Water Lily

566 57 2
                                    

"Gue tau apa yang Abel rasain selama ini," jelasku kepada Vicky ketika kami berada di rooftop pada jam istirahat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue tau apa yang Abel rasain selama ini," jelasku kepada Vicky ketika kami berada di rooftop pada jam istirahat. Vicky di sampingku, sama-sama menghadap ke arah kota.

"Abel itu sebenarnya orang yang beruntung. Dia nggak pernah ngeluh. Dia hebat, selalu berusaha terlihat kuat. Sayangnya, takdir nggak pernah berpihak ke dia."

Tatapanku kosong ke arah pucuk gedung pencakar langit di kejauhan.

"Gue tau dia pasti akan marah, sedih, teriak, tapi dia nggak tau harus menuntut siapa. Gue nggak siap lihat dia kayak gitu lagi."

"Abel bukan cuma sekedar sahabat, tapi saudara bagi gue."

Sejak jam istirahat berlangsung sekitar lima belas menit lalu, aku yang kehilangan selera makan langsung berlari ke rooftop untuk menyendiri.

Meskipun pemandangan ini tidak berhasil membuatku tenang, aku senang Vicky menyusul dan akhirnya aku menucurahkan apa yang kurasakan padanya tentang Abel.

"Gue merasa bersalah," sambungku.

"Seharusnya semalam gue nggak usah pergi sama Alam. Seharusnya gue habisin waktu sama Abel untuk merayakan keberhasilan dia. Seandainya gue nggak cancel acara kami, Abel nggak akan ..." aku tidak tega melanjutkan kelimat selanjutnya. Dadaku lebih dulu terasa sesak.

"Seharusnya gue nggak batalin janji gue, Ki. Seharusnya gue harus bisa nepatin janji gue ke Abel. Gue udah buat dia kecewa dan gue udah buat dia kecelakaan."

"Ini bukan salah lo," sahut Vicky dengan nada tenang.

Aku melirik ke belakang dan melihat tangannya hampir merangkul bahuku. Tak tanggung-tanggung, aku langsung memeluknya.

Rasa tenang menyelimutiku. Air mataku berhenti mengalir. Pelukan Vicky selalu berhasil membuat tangisanku mereda.

"Jangan lupa lo siapa waktu lo bilang kalau Abel kuat dan Abel hebat," kata Vicky membuatku menatap ke arahnya.

"Terkadang orang lupa kebaikannya sendiri dan memuji kebaikan orang lain hanya karena saling menyayangi," jelas Vicky membuatku menatap takjub.

"Gue nggak tau kalau lo bisa buat puisi," sahutku di tengah isakan.

"Ini bukan puisi." Wajah Vicky semakin datar. Ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Perhatianku teralihkan ke kertas terlipat di saku Vicky. Aku meraih kertas itu dari sana.

"Ini apa?" tanyaku sambil membuka kertas berisi beberapa baris tulisan. Vicky langsung menariknya dan mengantongi kertas itu di saku celana.

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang