49. Nemesia

238 34 4
                                    

Aku dan Vicky menunggu pintu lift terbuka dalam keheningan canggung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku dan Vicky menunggu pintu lift terbuka dalam keheningan canggung. Dia berdiri di sampingku. Bersedekap santai. Tapi di dalam anganku, dia terbaring di atas brangkar bersama dokter yang sedang mengoperasi paru-parunya.

Wajahnya yang datar sangat memperlihatkan betapa keras perjuangan yang pernah ia lakukan untuk sembuh. Aku hanya bertanya-tanya, seperti apa Bu Andrea saat Vicky masih sakit?

Pintu lift terbuka. Kami melangkah ke lorong.

Jantungku mencelos dalam melihat di balik dinding kaca, satu keluarga sedang menangisi salah satu anggota mereka karena meninggal dunia.

Tangisan itu mungkin terdengar merdu di telinga malaikat pencabut nyawa, tapi aku mendengarnya sebagai definisi kehilangan yang sesungguhnya.

"Nggak usah dilihat, Ra!" Vicky menarik lenganku.

Dia tau pandanganku sudah buram karena tergenang air mata.

Kami tiba di ruangan Abel. Aku berhasil move on dari kejadian di lorong tadi ketika melihat Aidan sedang saling memandang dengan suster.

Aku mengerti kenapa tidak ada buaya di danau Travis. Buaya itu kini berada di depanku dalam wujud Aidan.

Aidan salah tingkah melihat kedatanganku dan Vicky. Dia mengubah ekspresinya menjadi datar.

"Ngapain lo?" tanyaku dengan ekspresi curiga.

Suster yang sempat melempar senyum kepada Aidan tersipu malu. Dia keluar dari ruangan Abel sambil membawa troli berisi alat-alat suntikan.

"Dari mana aja kalian?" tanya Aidan. Dia masih salah tingkah sehingga tak menyadari pertanyaanku.

"Liburan lite ala Samara," sahutku. Senyumku memperlihatkan keindahan danau Travis yang terbawa hingga ke sini.

"Sampai Abel sadar kalian tetap belum balik, sekarang dia udah tidur lagi."

Aku baru saja ingin tersenyum, tapi Aidan tidak memberiku kesempatan untuk bahagia meskipun cuma dua detik.

Aidan bangkit dari duduknya dengan ekspresi lebih serius. Sinar lampu yang redup memerlihatkan sorot mata indahnya hingga bertemu dengan mataku.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," kata Aidan membuat darahku berdesir tak nyaman.

Aku menelan saliva. Memandang tangan Aidan yang tergantung di samping pinggangnya. Mengharapkan tangan itu menggapai tanganku saat ini.

Kami meninggalkan Vicky di depan ruangan Abel. Aku merasa sangat bersalah kepada Abel karena kini tanganku yang menggapai tangan Aidan dan menautkannya begitu erat.

Dia menyalurkan kehangatan yang selama ini kunantikan sejak kami pertama kali bertemu. Meskipun kami cuma bertautan tangan, aku seperti berhasil menguasai dunia.

Langkah kecil kami berlari ke arah lift dan berhenti di lantai delapan, lantai teratas gedung ini.

Aku tidak memberitahunya kemana aku akan membawanya pergi. Dari senyumnya yang cerah, dia mengira dialah yang menuntunku untuk pergi ke tempat yang ia inginkan.

EVIDEN (END)Where stories live. Discover now