33. Fuchsia

440 56 2
                                    

Selama seminggu terakhir Vicky tidak berangkat sekolah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selama seminggu terakhir Vicky tidak berangkat sekolah. Aku menghubunginya berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Rasa bersalahku semakin besar.

Bunda tidak bicara lagi padaku. Justru Abel lah yang kini Bunda ajak bercanda. Aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja meskipun di dalam sana terasa sangat menyakitkan.

"Kenapa ya, Ra? Hari ini rasanya gue pengen senyum terus," kata Abel ketika kami berada di kursi kafetaria.

"Gue juga," sahutku berbohong.

"Udah tau kabar Vicky?"

Aku meraih es teh dan meminumnya. Pura-pura tak mendengar pertanyaan Abel. Baru saja ingin mengalihkan topik pembicaraan ke kabar Mama Abel yang ada di rumah sakit jiwa, tenggorokanku lebih dulu tersedak ketika melihat seseorang membuka pintu kafetaria dari luar.

Rambut kecoklatan. Tubuh tinggi. Seragam baru. Hidung mancung dan gelang merah di pergelangan tangan kirinya membuat mataku membelalak syok.

Sosok itu menutup pintu kaca kafetaria dengan gerakan maskulin. Sorotan mata kucingnya bergerak ke seisi kafetarian, lalu berhenti di wajahku.

Aku sadar paru-paruku kekurangan oksigen karena sejak tadi aku tidak bernapas.

Dia berjalan ke arahku. Bibirnya tersenyum seolah melihat teman lama yang sudah bertahun-tahun tak bertemu.

Aidan.

Sosok itu adalah Aidan, aku sangat yakin meskipun wajahnya seratus persen berbeda dengan wajahnya ketika kami masih kecil. Entah kenapa aku langsung bisa mengenalinya.

Jantungku semakin berdegup kencang dan mungkin akan berhenti ketika dia sampai di mejaku. Gurat senyumnya terlihat semakin jelas. Perutku seperti kejatuhan bola meriam panas.

"Abel?!" sapa Aidan membuat senyumku langsung surut.

Sejak tadi dia tidak menatap ke arahku, melainkan ke arah Abel.

"Gue tau lo pasti Abel," kata Aidan dengan ekspresi tak menyangka.

Abel terdiam. Bertukar pandang denganku. Ekspresinya kebingungan.

"I never ... gue nggak nyangka lo lebih cantik dari yang gue bayangin," dia menghela napas takjub.

Aidan menarik kursi untuk duduk di samping Abel. Dia melihat kursi roda yang didudki Abel. Senyumnya agak menipis.

"I know about this." Dia melirik kursi roda Abel. "I know everything about your family. I feel sorry for you."

"Maaf, lo siapa?" tanya Abel membuat Aidan tertawa.

"Lo nggak kenal gue?" Aidan menatap tak percaya. "Katanya lo akan langsung kenal gue saat pertama kali kita bertemu?"

"Hah?" Abel menatap ke arahku lagi untuk meminta penjelasan.

EVIDEN (END)Where stories live. Discover now