[ 17/30 ]

199 24 0
                                    

Kepalaku terasa pusing ketika sinar matahari menerangi tanpa ampun dan menyerang mataku. Aku merasa tubuhku sakit dan sedikit lelah, setelah beristirahat sebentar, aku berusaha berdiri dan menatap sekeliling.

Langkah kaki yang pelan mulai kujalankan sambil sesekali melihat hiruk pikuk keramaian. Di mana aku sekarang? Tampaknya ini tempat asing, padahal seingatku tadi aku tertidur di kamar sendiri.

Lalu, kenapa sekarang aku ada di sini? Di tengah keramaian dengan orang-orang yang aneh menurutku. Kenapa kubilang aneh? Karena mereka tampak berbeda, dengan pakaian tradisional yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Para lelaki memakai celana sepanjang tujuh per delapan berwarna putih, di kepalanya terdapat topi caping, atau semacam penutup kepala. Sementara yang perempuan banyak menggunakan kemben, atau kebaya dan kain sebagai bawahannya. Satu hal lagi, mereka bertelanjang kaki di bawah panas matahari.

Mataku menoleh ke suatu tempat yang berisik, sepertinya ada keributan. Dengan cepat aku berlari ke sana dan menemukan pemandangan yang menyeramkan. Sebuah tubuh yang babak belur terkapar dan beberapa orang tentara ... Belanda?

Dor!

Tubuhku terlonjak melihat salah satu tentara itu menembak tubuh yang tidak berdaya tadi. Darah segar segera keluar dari kepalanya yang ditembak. Kemudian, suasana kembali hening. Tubuh laki-laki itu diseret oleh tentara-tentara Belanda itu tanpa rasa manusiawi.

Lagi, aku merasa mual dan pusing. Di mana aku sekarang? Kenapa aku bisa ada di sini? Dan ini ... kenapa?

"Bapak ke mana, Bu?"

Sebuah suara berisik mengganggu konsentrasiku lagi, tiba-tiba aku melihat seorang anak perempuan mungkin berumur sepuluh tahun memeluk kaki wanita tua yang sepertinya ibu dari anak itu.

"Belum pulang, Nak. Tunggu sebentar lagi, ya?" jawab ibunya sambil berjongkok lalu memeluk tubuh anak itu.

"Sudah sangat lama Bapak tidak pulang, Bu. Kenapa Ibu terus berkata tunggu? Ais ingin bertemu Bapak," rengek anak kecil itu lagi, kali ini ia memukul-mukul tubuh ibunya sambil sesekali menjambak rambutnya yang dikepang dua.

Iba, aku menghampiri mereka, dan bertanya, "Ada apa, Bu?"

Ibu itu menggeleng. "Tidak, Nak. Ais hanya merindukan bapaknya."

"Ke mana bapaknya memang?"

Lagi, ia hanya menggeleng lalu menangis.

"Bapak pergi diculik para tentara jahat itu, Kak!" jawab gadis yang bernama Ais sambil menghampiriku dan menarik bajuku. "Kakak harus bantu Ais cari Bapak! Ais yakin Kakak bisa bantu Ais. Baju Kakak bagus, Kakak pasti bangsawan! Bantu Ais, Kak!"

Gadis itu menangis sambil terus menarik bajuku. Tanpa sengaja, kukunya mencakar lenganku dengan kasar.

"Dik, maaf, Kakak sama sekali tidak bisa membantumu, Kakak—," kalimatku terputus, aku menoleh pada ibunya, "Bu, ini di mana? Tahun berapa dan kenapa banyak tentara Belanda?"

"Ini di Batavia, Nak. Tahun 1928."

Suara itu memudar, hilang bersamaan dengan pandanganku yang kabur. Aku mencoba bangun, tapi tidak bisa. Sampai akhirnya tiba-tiba ....

"Dera! Kenapa baru bangun? Ayah sudah menunggumu sejak tadi di bawah!" omel Ayah sambil menghampiriku dengan wajah galak.

Semua yang tadi kulihat langsung membuatku mengiba. Aku bangun dan memeluk tubuh Ayah. "Maaf, Ayah, untung Ayah tidak hidup di zaman dulu."

"Maksudmu?" tanya Ayah bingung.

Aku menggeleng, dan mempererat pelukanku lagi. "Dera sayang Ayah."

◎◎◎

Jumat, 17 Agustus 2018
20.03 WIB
Gadis yang merindukan ayahnya yang hilang saat perang - 1928

a Tiny Linie Bitty : NPC's 30 Days Writing Challenge 2019Where stories live. Discover now