1. Iova dan Kotanya

7K 553 265
                                    

Iova terus memperhatikan sekumpulan anak lelaki yang mulai tertawa tatkala mereka melangkah keluar dari sebuah gang di dekat tiang listrik patah di pertigaan. Anak berambut merah membawa tiga buah majalah, yang dari jarak sekitar lima belas meter ini saja Iova tahu kalau itu bukan majalah benar.

Dia menghela napas panjang, lalu merenggangkan tubuh ke atas. Jemarinya ia lemaskan sedemikian rupa. Lantas, Iova memanjati jendela dan menelusuri atap.

Ini lantai dua rumah salah satu kenalannya. Namun, Iova rasa tak ada salahnya bila melompat dari sini. Dia adalah pahlawan pembela kebenaran. Itulah yang membuatnya yakin kalau dia tidak akan kenapa-kenapa. Bibinya selalu berkata bahwa mereka yang baik akan selalu menang. Lagi pula, Iova sudah memperkirakan semuanya.

Empat puluh lima derajat, sudut untuk membuat lompatan jauh. Iova mengucapkan hal serupa berulang-ulang dengan sangat cepat, komat-kamit seakan sedang mengucap mantra. Badan harus condong ke depan. Iova kembali menghela napas.

Iova mengambil ancang-ancang dan mulai berlari sekencang mungkin. Rok sepahanya berkibar. Untunglah ia mengenakan celana pendek di dalam. Saat melompat ke bawah, seperti dugaan sebelumnya, Iova mendarat tepat di depan lima anak lelaki itu. Tubuhnya sedikit membungkuk untuk mencapai keseimbangan agar ia tak terjatuh.

Ketika menegapkan badan, Iova memandangi kelima anak satu persatu. Masing-masing dari mereka terkejut. Mata mereka melotot memperhatikan Iova dengan saksama dari ujung kaki ke kepala.

Tak ada yang berbicara selama beberapa waktu hingga salah seorang dari mereka mendecih dan mengumpat, "Sial! Dari mana kau datang?"

Anak lelaki bermata sipit itu berkacak pinggang. Dia menggunakan kaos oblong yang bagian lengan kirinya telah sobek. Bagian ketiaknya pun dijahit seadanya. Iova pernah melihat cowok pucat ini sekali di penampungan pemerintah. Sayangnya, Iova tak tahu namanya.

Iova tidak merespons perkataan anak itu dan hanya menyunggingkan senyum tipis. Dikibaskan rambut hitam panjangnya, hal yang selalu Iova tunjukkan sebagai tanda bahwa ia tidak takut pada mereka. Padahal kelima anak ini lebih tinggi beberapa sentimeter darinya.

"Hei! Kalau ditanya jawab!" gertak anak berambut pirang. Iova tahu warna rambut itu adalah hasil cat, terlihat dari rambutnya yang kering dan kasar. Dia tak merawat rambutnya baik-baik, pikir Iova. Kata bibinya, orang yang tak merawat rambut adalah orang paling tak teratur yang pernah ada.

Anak lelaki berambut merah menepuk dahinya sendiri sembari mendecak. Dia menggulung ketiga majalah di tangannya. "Ayolah teman-teman! Dia ini Iova, si gila Distrik Ankara. Seperempat penduduk Kota Bawah Tanah tahu kalau tak penting meladeni dia." Ucapannya terdengar galak, tetapi sedikit gemetar. Iova Ingat kalau anak lelaki ini biasa dipanggil Akai karena warna rambutnya. "Ayo kita pergi," lanjut anak itu seraya membalikkan badan.

Keempat anak yang lain pun mengikuti langkah Akai. Namun, tak sampai lima meter mereka menjauh, Iova terkekeh. Kelimanya pun tertahan, Akai yang lebih dahulu berbalik. Kedua alisnya bertaut tak suka.

"Kau cari masalah, ya, Surahan?" tanya Akai. Giginya digertakkan sekali.

Iova mengangkat dagu. Dia berdiri menyamping. Tangan kirinya di belakang pinggang, sedangkan tangan kanannya setengah terulur ke depan. Keahliannya adalah meniru dan kali ini ia meniru seorang shaolin yang ia pernah lihat di salah satu video pamannya.

"Tugasku adalah menghilangkan anak-anak nakal sepertimu." Iova menggerakkan telunjuknya, memberi isyarat Akai untuk maju menghadapinya. "Akan kubuat kamu babak belur seperti tempo hari."

Akai mengerling. Dia memberikan majalah yang dipegangnya kepada anak berkacamata yang berdiri di sebelahnya. "Ini tidak akan sama seperti kemarin," ucapnya serius dengan mata menyipit.

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now