8. Dae dan Fobianya

1.2K 199 12
                                    

Bukan tanpa alasan Dae merasa khawatir.

Kata orang, anak-anak kembar mempunyai sebuah ikatan yang jauh lebih istimewa daripada saudara biasa. Seperti itulah yang dirasakan Dae pada Eunah. Kakaknya sudah bertahun-tahun hidup bergantung pada cincin di jantungnya. Apabila cincin itu rusak, tewas di tempat adalah kemungkinan yang akan terjadi. Tak ada kemungkinan untuk sembuh total, setidaknya untuk saat ini. Maka dari itu Dae selalu merasa was-was.

Teman-teman mereka selalu bercanda bahwa Dae mengambil kesehatan Eunah, sedangkan Eunah mengambil kepercayaan diri Dae. Itulah mengapa di setiap kesempatan Eunah terlihat berani, sementara Dae tak ada sedetik tanpa memikirkan kemungkinan negatif dari hal yang telah berlalu ataupun yang akan datang. Dae bisa menjadi atlet hebat dengan segala keterbatasannya pun karena Eunah ada di sisinya.

"Aku adalah cheerleader pribadimu!" adalah kalimat yang selalu diutarakan Eunah padanya. Memang sederhana, tetapi ini membuat Dae, yang hampir benci segala hal, selalu menghindari momen tanpa Eunah. Dan, dia sangat menyesali perbuatannya sore tadi.

Sebab gadis itu belum kembali juga.

Dae masih duduk di ruang tamu, menatap pagar kayu halaman yang tertutup rapat melalui jendela. Udara malam mulai menembus hingga ke tulang-tulangnya, tetapi dia masih enggan untuk beranjak dari sofa. Secangkir minuman cokelat berada di atas meja kopi di hadapannya, sudah tiga perempat habis dan telah dingin sejak tadi. Ibunya juga telah memanggil Dae berulang kali, tetapi cowok itu tetap tidak peduli.

Rasa bersalah sudah menggelayuti hatinya sejak sampai di rumah. Bagaimana mungkin aku bersikap biasa padahal telah terjadi sesuatu? Dae membisikkan itu pada dirinya setiap sepuluh detik sekali.

"Sekarang sudah jam delapan, Dae. Kenapa kau tidak makan malam?" tanyanya sang ibu lembut.

Dari sudut matanya, Dae melihat ibunya sedang menuruni tangga sambil membawa keranjang pakaian kosong. Tanpa menoleh, Dae menjawab. "Aku akan menunggu Eunah."

Terdengar dengusan pelan. "Eunah akan baik-baik saja." Kepala Dae dielus lembut oleh wanita itu. Dae mendongakkan kepala dan mendapati ibunya tersenyum penuh arti. "Percayalah," kata Nyonya Kincaid menelusuri pipi dan dagu Dae dengan jemarinya.

Awalnya Dae ingn menepis tangan ibunya, tetapi dia mengurungkan niat dan memilih untuk memendam wajahnya pada perut sang ibu. "Bagaimana kalau Eunah tidak kembali seperti ayah?" isak Dae.

Sang ibu terentak. Dia meletakkan keranjang pakaian di lantai, lalu berjongkok untuk memegangi kepala Dae. Mata hazelnya menatap lurus-lurus kepada si anak lelaki. "Kasusnya berbeda Dae," ucapnya getir. "Eunah pasti kembali. Mungkin, saat ini dia menginap di rumah temannya. Lagi pula, semua orang--termasuk Eunah--pasti tahu peraturannya. Kautahu, kan, bunyinya?"

"Yeah," jawab Dae.

"Tak ada yang berada di luar tempat perlindungan sewaktu matahari terbenam." Keduanya berujar bersamaan.

Cowok itu menggigiti bibir bawahnya. Ingin sekali dia berpikiran sama dengan Nyonya Kincaid, tetapi tetap saja Dae sulit bersikap tenang. Hatinya bertanya-tanya. Jangan-jangan apapun-yang-bersembunyi-di-balik-malam telah menangkap Eunah? Bagaimana kalau Eunah tersesat dan tak tahu arah jalan pulang?

Menggertakkan gigi, Dae berpaling dari Nyonya Kincaid, lalu mengambil cangkir minuman cokelatnya. Dia berlari masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan Nyonya Kincaid yang berdiri terdiam di ruang tamu. Kembali dari dapur, langkah Dae berderap saat menaiki tangga menuju kamarnya.

"Pelan-pelan Dae! Kau tidak mau membuat tetangga menelepon ke mari, 'kan?" teriak sang ibu dari bawah, tetapi Dae tidak mendengarkan. Dia sibuk mencari jaketnya yang paling tebal di dalam lemari serta senter dari laci-laci meja belajarnya.

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now