20. Eunah dan Perjalanannya

695 117 10
                                    

"Baiklah. Jadi, kita di sini."

Itu Akai yang berujar. Anak lelaki berambut merah itu berkacak pinggang, lalu memutar tubuhnya agar ketiga anak yang bersamanya dapat melihat palang kayu di belakangnya.

Eunah menyipitkan mata, mencoba membaca, tetapi dia sama sekali tidak mengerti kalimat yang terpampang di sana. Huruf-huruf itu seperti alfabet, tetapi bentuknya tak lazim. Eunah bukannya berlagak sombong, tetapi bila ada hal yang bisa ia banggakan selain jantungnya yang memerlukan cincin adalah kemampuannya menguasai bahasa. Dan, tulisan di palang kayu ini bukanlah bahasa yang ia mengerti.

Pandangan gadis itu mengembara. Selain dinding-dinding tanah berwarna gelap, ada sebuah celah di antara dua batu, persis seperti yang ada di Gua Ali Baba. Bedanya, celah ini seolah mengatakan padanya bahwa jalan itu tidak akan membawanya ke mana pun. Selain itu, dari ukuran mulut celahnya saja Eunah yakin jalan tersebut dapat dilalui bahkan oleh truk tronton sekalipun. Pendapat itu didukung oleh jejak-jejak ban besar yang tercetak jelas pada tanah.

"Kenapa kau membawa kita ke perbatasan?" Iova bertanya, menyentak Eunah kembali ke bawah tanah.

Akai memutar mata, kemudian melipat tangan di depan dada. "Kau dengar apa yang dikatakan Morgan di penampungan, Su-ra-han," ucapnya lamat-lamat seperti sedang mendiktekan orang tuna rungu. Mata gelapnya terlihat kosong, sekalipun raut wajahnya berkata bahwa dia masih anak laki-laki yang sering berkelahi dengan anak bermata violet di hadapannya.

Iova mendecih. "Serius, deh. Biasanya kau memang menyebalkan, tetapi kali ini lebih menyebalkan, kautahu?" Gadis itu mengepalkan tangan kuat-kuat. Pembuluh nadi di kepalanya bahkan terlihat mengungu dengan jelas.

Akai memutar mata. "Bukan urusanku," jawabnya ketus, yang membuat Eunah menelengkan kepala heran.

Sebenarnya, Eunah terus memikirkan apa yang terjadi pada Akai. Sedari awal Akai memang terlihat enggan untuk menolong, apalagi bila mengingat bagaimana cara Iova datang meminta bantuan. Anak perempuan itu mungkin seumuran dengan Eunah, tetapi sikapnya yang kekanak-kanakan tidak akan membuat orang senang dengannya.

Apalagi Akai yang harus menghadapi permainan penjahat-pahlawan Iova setiap hari, pikir gadis itu sambil memainkan ujung rambut ambernya.

Ditatapnya Akai cukup lama, memperhatikan rambut merah terang dan seberapa jauh perbedaan tingginya dengan Iova. Eunah membandingkan antara Dae dan Akai, yang jelas menunjukkan kalau Akai terlihat jauh lebih dewasa daripada adiknya yang fobia akan segala hal itu. Sosok Akai juga jadi mengingatkan Eunah pada teman-temannya di sekolah dan yang paling penting adalah sahabat Dae sendiri, tingginya mungkin sama dengan Akai.

Ingatan itu membawanya pada saat mereka berdua berada di pinggir danau. Akai yang menangis dan tiba-tiba menyenderkan kepala ke bahunya. Itu bukan pertama kali Eunah diperlakukan seperti itu dengan seorang lelaki. Dae pernah bertingkah demikian padanya, sehingga Eunah menjadi cukup peka dengan hal ini. Mereka yang bertingkah seperti itu pasti sedang punya masalah.

Sesuatu telah terjadi di gua. Dia mengelus dagu. Simbol ular naga dengan mata terpejam itu, Eunah rasa pernah melihatnya di suatu tempat. Eunah menggelengkan kepala. Dia harus keluar dari hal yang tidak penting. Lagi pula, pikiran itu tidak akan berguna lagi setelah ia keluar dari sini.

Tak tahan melihat adu mulut Iova dan Akai, Eunah pun menepuk tangannya dua kali. "Sudahlah. Akai dan Iova tidak perlu bertengkar." Dia tersenyum saat melerai, lalu melirik Morgan. "Jadi, apa Morgan bisa memberitahukan rencananya sekali lagi?" tanyanya mengalihkan topik pertengkaran.

Morgan mengangguk. Cowok itu memperbaiki posisi kacamatanya. "Karena aku masih memegang nama belakangku sampai lelang nama dilakukan, aku masih punya akses melintasi perbatasan." Jari telunjuk kirinya menunjuk ke arah palang. Eunah kembali menyipitkan mata, memperhatikan setiap huruf yang tertulis di sana.

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now