32. Eunah dan Pelariannya (Lagi)

751 112 17
                                    

Setelah melewati labirin bawah tanah dan beberapa kali mencoba sembunyi dari penghuni bumi yang berlalu lalang, Eunah dan Tuan Kincaid akhirnya sampai di aula terbuka. Atau lebih tepatnya gua yang luasnya mencapai lima lapangan sepakbola yang saling bersisian. Tak ada satupun stalaktit maupun stalagmit yang menyembul keluar tanah, tapi sebagai gantinya banyak bangunan-bangunan kecil layaknya rumah yang terbuat dari susunan batu-batu beraneka ragam.

Bentuknya membulat, seperti iglo yang pernah Eunah lihat gambarnya di buku. Bangunan-bangunan terdekat hanya mempunyai satu lekukan ke bawah yang Eunah asumsikan sebagai jalan masuk. Ada kain panjang berumbai yang menggantikan daun pintu di sana, dimana beberapa penghuni bumi terlihat keluar masuk atau sekedar memasukkan kepala mereka ke dalam.

Sumber cahaya berasal dari obor-obor yang bersusun di sepanjang dinding gua serta ada pula sepasang di depan pintu iglo bebatuan. Warnanya hijau redup, seperti cahaya yang menuntun mereka ke tempat persembunyian harta Tuan Wicked. Tapi, karena tak ada asap yang menguar ke udara, Eunah ragu kalau itu memang obor yang terbuat dari api.

Eunah dan ayahnya bersembunyi di balik tumpukan kotak yang sepertinya bukan terbuat dari kayu maupun kardus. Permukaannya sangat licin untuk ukuran batu, tapi tak memantulkan bayangan di sekitarnya sekalipun sangat mengkilap. Warnanya persis seperti jeli yang dia, Akai dan Iova pernah temukan ketika berada di bawah rumah Tuan Wicked. Eunah hampir saja menyentuhnya ketika Tuan Kincaid menghalangi tangannya sambil menggelengkan kepala, lalu menarik gadis itu untuk duduk lebih rendah seiring dengan mendekatnya sesosok penghuni bumi dan mengambil kotak teratas.

"Ini makanan Sotteaneo," bisik Tuan Kincaid teramat lirih ketika penghuni bumi itu telah menjauh.

Tangan Eunah refleks menutup mulut. Dia tiba-tiba merasa mual dan enggan untuk napas. Sebab, kalimat itu juga bermakna Eunah dan ayahnya sedang duduk di dekat mayat.

Tuan Kincaid kembali mengamati keadaan, lalu menarik Eunah untuk berpindah tempat. Mereka melewati banyak hal; barang-barang, bebatuan, perabotan, bangunan demi bangunan, bahkan penghuni bumi setinggi enam meter yang sedang tertidur. Sakit di dada Eunah kambuh sesaat ketika monster itu bersin. Untung saja makhluk itu tidak sampai terbangun, jadi beban di jantung Eunah tak harus bertambah.

Sekalipun harus menahan perih, Eunah tetap mengikuti langkah Tuan Kincaid. Sama pelannya, sama besarnya atau setidaknya seperti itulah usaha Eunah agar tidak menarik perhatian para penghuni bumi di sekitar mereka. Keduanya baru berhenti ketika Tuan Kincaid mengulurkan tangan untuk menghalangi tubuh Eunah. Telunjuknya mengarah ke suatu titik.

Mata Eunah mengikuti perintah dan ia pun terkesiap. Sebab, belasan orang sedang berada di kerangkeng  yang cukup besar untuk anak kecil, tetapi sempit untuk orang dewasa. Kerangkeng-kerangkeng itu tersusun tiga tingkat ke atas, seolah mereka semua adalah hewan alih-alih manusia.

Penampilan mereka semua mengerikan, seolah mereka sudah berada di sana pada waktu yang lama. Yang terlihat paling normal--kalau itu memang bisa dikatakan normal--adalah sepasang sejoli yang berada di tingkat paling atas. Si pria berkacamata, sedangkan si wanita mempunyai rambut berpotongan lelaki. Mereka membagi satu kerangkeng berdua, yang menyebabkan si pria terpaksa meringkuk di sudut sambil memeluk lutut agar sang wanita dapat sedikit leluasa karena ternyata perutnya sedang hamil besar.

"Apa-apaan itu?" Eunah berbicara tanpa sadar saking terkejutnya.

Tuan Kincaid menempelkan jari ke mulutnya, menyuruh Eunah untuk mengecilkam suara. Kemudian, telunjuknya kembali menunjuk ke arah yang lain.

Tak jauh dari sana, ada kepala makhluk raksasa yang mencuat dari lubang di dinding. Moncongnya besar, sepasang taring atasnya menonjol ke bawah. Wajahnya dipenuhi sisik berbonggol dengan diameter 30 senti yang dominan berwarna cokelat tua yang diselingi motif merah dan hijau pada bagian atas mulut dan mata. Kelopak matanya yang tebal sedang tertutup, menunjukkan bahwa ia sedang tertidur.

Ada kumis panjang di samping kiri dan kanan lubang hidungnya, menjadikan makhluk itu sekilas seperti lele. Namun, semakin diperhatikan, makhluk itu tak ada mirip-miripnya dengan ikan. Selain karena di sekitar cuman ada tanah dan batu, lele tak punya gigi sebesar itu. Ketika dahi di antara kedua alisnya berkedut, Eunah akhirnya tahu jenis makhluk tersebut.

Naga. Suara raungan yang tadi terdengar hingga ke sel penjara adalah suara raungan naga. Sotteaneo adalah naga. Sang Penguasa Bawah Tanah adalah seekor naga. Tentu saja. Kenapa Eunah tak pernah memikirkan tentang hewan yang dianggap mitos selama bermilenium-milenium ternyata ada di dunia ini. Kepalanya saja sebesar itu, bagaimana dengan badannya? Panjang tubuhnya?

Detak di jantung Eunah terasa lebih kuat. Rasa perihnya naik satu tingkat.

Dia mencuri pandang pada Tuan Kincaid. Dari jarak sedekat ini, pria itu tak ayal terlihat seperti seorang kumuh yang sudah punya banyak pengalaman hidup. Hal itu terlihat dari bagaimana tenangnya ia dengan kehadiran makhluk maha besar itu dari jarak sedekat ini. Jelas, bertahun-tahun menjadi pawang Sotteaneo menyebabkan Tuan Kincaid tampak biasa saja dengan situasi demikian, tetapi tidak dengan Eunah.

Tangan gadis itu mulai gemetaran, begitu pula rahangnya. Diam-diam, dia meraih tangan ayahnya, saling menyematkan jemari mereka. Apa pun rencana Tuan Kincaid, Eunah ingin percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Sekeluarnya mereka dari sini, Eunah akan membawa ayahnya ke rumah dan menemui Dae serta ibunya. Ingatan pria itu pasti akan kembali jika mereka semua berkumpul, kemudian mereka berempat dapat hidup normal seperti sedia kala terlepas dari aktivitas tak masuk akal yang terjadi di bawah kaki mereka.

Toh, ini masalah Kota Bawah Tanah. Tak ada urusannya dengan Kota Yuza, pikir Eunah. 

Akan tetapi, bagaimana dengan Iova? Bukankah mereka teman?

"Wah, wah, wah ... lihat siapa yang berhasil kabur dari selnya."

Suara menggelegar itu memecahkan pikiran Eunah seketika. Dia menoleh bersamaan dengan hilangnya bayangan mereka yang terbentuk dari obor hijau di sekitar. Adrenalinnya memacu ketika sadar bahwa sesosok penghuni bumi sedang berdiri di hadapannya. Wajah buruk rupa angkuh itu berwarna kemerahan, seolah kepalanya memancarkan cahaya sendiri. Monster itu membungkukkan badan, tersenyum sampai menampakkan gigi-giginya yang hanya terdiri dari taring.

"Aku butuh kerja sama kalian, manusia permukaan." Ada asap yang keluar dari sepasang lubang hidungnya yang seukuran bola voli. "Kembalilah ke penjara sekarang dan aku akan melupakan apa yang terjadi."

Eunah mendengar gigi Tuan Kincaid bergemeretak, lalu tangannya yang bebas menyodorkan batu giok ke depan. "MUNDUR!" Ayah Eunah berteriak. Genggaman tangannya pada Eunah semakin erat. "Atau akan kugunakan ini!"

Sang penghuni bumi menegak. Dia melipat tangan. "Memangnya, apa yang dapat kaulakukan?" Nada suaranya pongah.

Mata hazel Tuan Kincaid menyipit. Eunah terkesima mengetahui kalau ekspresi itu persis seperti yang sering Dae tunjukkan ketika hendak sparring dengan teman-teman se-dojang-nya. Dia tahu bahwa ayahnya serius soal menggunakan benda magis tersebut.

Tanpa aba-aba, batu giok bercahaya. Penghuni bumi terlempar beberapa meter ke belakang, menghancurkan dua iglo sekaligus. Penghuni bumi yang berada di belakang iglo berteriak. Dari lengkingannya, Eunah menebak kalau makhluk itu betina.

"Bukankah aku sudah memperingatkan?" Senyum mengembang dari Si Pria Bertelinga Satu, padahal kini lebih banyak monster buruk rupa yang memperhatikan mereka. []

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now