17. Dae dan Sang Doa

771 127 11
                                    

Dikelilingi wanita-wanita cantik adalah salah satu hal yang akan membahagiakan pria mana pun, terutama bila semua terjadi tanpa pernah kaubayangkan dalam benakmu. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri ada saja pria yang tidak mau bersyukur. Apalagi jika pria itu mencoba kabur dengan alasan tak betah. Kebanyakan orang akan bertanya-tanya, kemudian menarik kesimpulan sendiri bahwa mungkin pria ini punya orientasi seksual yang tidak normal.

Sayangnya, Dae termasuk kalangan minoritas tersebut.

Semenjak ia sampai di ruangan ini, tak sekalipun Dae berani mengangkat wajah. Di sekitarnya ada wanita-wanita jelita yang bertubuh tinggi dan ramping. Mereka menari, bernyanyi, serta memainkan alat musik untuk menghibur. Suara mereka merdu menggoda, berhasil merayu setidaknya lima lelaki yang ada di ruangan terang tersebut. Hanya Dae dan pria bermata emas di hadapannya yang tidak melirik ke arah pertunjukan para wanita.

Pria itu menatap Dae lekat-lekat, sangat tajam sampai-sampai bulu kuduk Dae merinding. Dari sudut matanya, Dae melihat pria kekar itu menyilangkan tangan dengan punggung menyender di sofa. Bibir si pria emas melengkung ke bawah, sementara dadanya naik turun seolah menahan emosi.

Dae mencoba berhati-hati dengan pikirannya. Siapa tahu pria ini mampu membaca pikiran seperti sesepuh dan wanita merah sebelumnya, walau lima puluh persen dirinya yakin pria itu tak mampu. Sejak tadi, Dae terus mengucapkan "madu baik untuk kesehatan" dalam hati. Beberapa wanita yang lewat di sebelah kursi kayu Dae pun sempat terlihat menahan tawa.

Ruangan berwarna dominan ungu dan putih itu sangat terang. Sinar matahari langsung menembus di antara celah tiang-tiang pualamnya. Bau udara yang khas berhasil memberikan sedikit kelegaan dalam dada Dae, wangi lavender yang cocok dengan warna tirai ruangan.

"Siapa namamu?" Suara berat pria itu terdengar.

Dae meneguk liur. "Da-Dae Kincaid," jawabnya gemetar.

"Asal?"

"Kota Yuza di permukaan."

Pria itu menggumamkan sesuatu sembari mengelus dagu. "Begitu."

Dia menghela napas, lalu memajukan tubuhnya, bertumpu dengan kedua tangan di atas meja yang membatasi mereka berdua. Kedua matanya menyipit memperhatikan setiap lekuk wajah Dae. "Aku benar-benar tidak mengerti," katanya. "Apa yang istimewa dari matamu?"

Dae menggelengkan kepala untuk menjawab, walau sebenarnya dia penasaran kenapa pria ini malah membahas mata. Pria tua yang mereka sebut sesepuh juga membahas soal mata. Seolah di tempat ini kedudukan seseorang ditentukan dari bagus tidaknya mata mereka. Akan tetapi, menurut Dae, mata manusia-manusia langit ini juga tak kalah indah bila dibandingkan dengan batu permata yang bergantung di kalung mereka.

Cowok itu menghela napas dengan kedua mata yang terpejam erat, sementara jemarinya meremas celana. Dia memantapkan hati. Bagaimana pun, Dae harus bertanya tentang matanya. Dia tak ingin menjadi satu-satunya orang yang tidak mengetahui apa pun ketika yang lain bercerita.

"A-a-anu." Suara Dae bergetar aneh. Lehernya seperti dicekik. "Kenapa orang-orang terus membicarakan mata?" tanyanya gugup. Kedua tangannya berkeringat dingin.

Namun, pria emas tidak langsung menjawab. Dia hanya memperhatikan Dae dalam diam. Duduk kembali di atas kursinya, dia bertanya, "Pernahkah kau mendengar tentang Dugaan Langit?"

Dae mengernyitkan kening heran, tetapi ia tetap menjawab, "Mereka memberitahuku."

Akan tetapi, ketika melirik ke arah si pria, Dae meneguk liurnya sendiri. Tatapan manik emas pria itu tajam seolah berkata bahwa dia tidak puas dengan jawaban seadanya itu.

Meneguk liur, Dae pun melanjutkan, "Wanita jingga, Nara, hanya berkata padaku bahwa akan terjadi bencana yang lebih besar daripada musim dingin panjang." Dae berujar cepat-cepat. Pria emas mengangguk mendengarkan. "Dan, kalian, para manusia langit, tidak punya kemampuan untuk menghentikan bencana besar lagi."

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now