5. Iova dan Pria Botak

1.8K 268 36
                                    

Iova berhenti melangkah, matanya mengerjap-ngerjap memandang bibinya yang berdiri mematung di depan pintu putar apartemen. Wanita itu tidak mengenakan kerudung yang senantiasa bertengger di kepalanya bila hendak keluar rumah. Dia bahkan menggunakan celemek, tanda bahwa ia sedang memasak. Melirik ke bawah, Iova menangkap tangan kiri Bibi Meg yang memegang dompet kecil kesayangannya.

Iova menelengkan kepala, menatap bibinya dengan mata memohon. "Aku boleh ikut?"

Bibi Meg menghela napas. "Seharusnya kau yang pergi belanja." Wanita itu berkacak pinggang. "Dari mana saja kau? Bagaimana bisa--ah!" Bibi Meg menghentikan kalimatnya. Dia setengah berlari menuju sisi gedung, kemudian menengadahkan kepala. Terlihat oleh kedua mata merahnya untaian panjang selimut dan seprei yang berasal dari salah satu jendela di lantai empat. Dia membalikkan badan, menatap Iova dengan kedua alis bertaut. "Apa kau baru saja--"

"Apa pun yang hendak kaukatakan, Bi, aku tidak melakukannya." Iova mengelak cepat. Dagunya terangkat, sementara kedua tangannya terlipat ke depan. Kedua matanya yang menyipit, membuat alisnya bertaut. Jelas bahwa dia benar-benar serius dengan ucapannya. Padahal, bagaimanapun caranya dia menolak perkataan bibinya, Iova tahu kalau wanita itu tidak dapat dibohongi. Toh, Bibi Meg sangat mengenal Iova, bahkan melebihi ibu anak perempuan itu sendiri.

Meg menghela napas. "Baiklah, Iova," ucapnya tajam. Sudut bibirnya naik ke atas, seolah tiba-tiba mendapat ilham. "Bagaimana kalau kau mengerjakan satu misi kepahlawanan dariku?"

Iova melongo. Dia memandangi bibinya tidak percaya. Gadis itu ingat sekali kalau bibinya tidak pernah menganggap sekalipun status kepahlawanannya sebagai hal yang benar-benar serius. Pernah Iova bertanya pada bibinya tentang apakah ada hal yang dapat ia lakukan sebagai seorang pahlawan, seperti membantu bibinya melakukan sesuatu yang penting. Akan tetapi, bibinya malah menyuruhnya memasak yang menurut Iova adalah hal paling membosankan. Menurut Iova, istilah perempuan harus bekerja di dapur sangat menyusahkan.

"Misi seperti apa?" Iova bertanya penuh semangat.

"Pergi ke supermarket."

Iova meneguk liur. Dia memutar kepala, memperhatikan jalanan depan apartemen dari balik bahunya. Namun, yang terbayang di kepala Iova malah pria bernama aneh itu, Olahraga. Iova menggelengkan kepala.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Iova merasa takut pada pria itu. Caranya tertawa dan menatap Iova ketika mengatakan "daging manusia" seperti antagonis yang ada di film-film aksi. Iova mungkin seorang pahlawan, tetapi bahkan dia tak punya alat-alat canggih yang mendukung dirinya yang tak punya kekuatan super. Gadis itu hanya tahu berkelahi. Cuman itu dan tak ada yang lain.

Iova menimbang-nimbang. Ada yang aneh. Kenapa dia tak punya perasaan bersalah yang dalam ketika sadar bahwa telah gagal menyelamatkan Akai? Apakah dia sungguh seorang pahlawan?

"Bibi," Iova memanggil setelah terdiam beberapa lama, "apa yang terjadi pada Akai?"

Bibi Meg mengernyitkan dahi. Alisnya naik sebelah. "Siapa Akai?"

Iova menghela napas. Mungkin bibinya memang tidak tahu kalau yang diberi penalti tadi itu adalah Akai. Kata orang, perasaan seorang wanita itu sangat peka. Jadi, dia memutuskan untuk menerima misi dari bibinya. Sekalipun ia tahu sang Bibi Meg hanya memanfaatkannya. Soal takut dengan Olahraga, itu bisa dipikirkan nanti. Syarat seorang pahlawan adalah harus bisa mengalahkan segala kelemahannya. Selain itu, Iova punya hal lain yang harus dilakukan.

***

Bibinya mungkin berpesan agar Iova cepat kembali karena bahan yang hendak dibeli harus digunakan segera untuk memasak makan malam. Sayangnya, Iova bukanlah anak yang patuh. Lagi pula, jalanan menuju supermarket melewati pertigaan tempat yang ingin dikunjungi Iova. Jadi, gadis itu memilih untuk berbelok ke kanan, setengah berlari karena sadar akan waktu yang terlewat.

Another Way to Destroy The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang