26. Akai dan Para Monster

630 111 16
                                    

Pagi itu, Akai terbangun dengan badan yang segar. Dia sudah lama tak tidur di kasur seempuk yang ada di kamar tamu apartemen Riri dan mandi dengan air hangat tak berbau. Bukan berarti tempat tidur atau air yang ada di penampungan tidak layak. Hanya saja, bila dibandingkan antara kehidupannya dengan saat di rumah utama keluarga Reeder, fasilitas yang ada di apartemen Riri mendapat tujuh dari sepuluh poin

Ketika ia keluar dari kamar, Akai tak dapat menemukan Riri di mana pun. Apartemen sudah kosong dan Akai hanya menemukan pesan yang tertempel di kulkas, dicatat dengan tulisan yang sangat indah. Akai hampir mengira memo tersebut dibuat dengan menggunakan komputer dan mesin cetak andai ia tak bisa membedakan tinta mesin dan tinta pena. Isi pesannya seperti ini:

Untuk Akai,

Maaf aku pergi saat kau masih tidur. Aku tak tega membangunkan seseorang yang tidurnya teramat nyenyak. Namun, aku senang karena itu membuatku tahu kau nyaman berada di sini. Kita bisa berbicara lebih banyak lagi setelah aku pulang atau kau bisa membantuku bekerja di binatu. Tenang saja, aku akan memberimu gaji.

Bila kau lapar, ada makanan di dalam kulkas. Kau bisa memanaskannya dengan microwave. Aku harap kautahu cara menggunakan alat itu. Kalau kau kesulitan, bibi Iova, Megraia, biasanya ada di rumah (apartemen nomor 204, belok kanan dari pintu depan). Bawa saja makanan itu ke sana dan Meg akan mengurusnya untukmu. Aku sudah memberitahu perihal dirimu padanya.

Salam,

Riri

Alis Akai naik sebelah. Apa Riri tak punya nama belakang? tanyanya pada diri sendiri sambil mengelus dagu. Walau akhirnya ia hiraukan dan membuka pintu kulkas untuk mencari makanan yang dimaksud oleh Riri. Catatan bertuliskan SARAPAN AKAI tertempel di atas mangkuk berbungkus plastic warp. Membaca itu, Akai merasa kalau Riri memang orang aneh karena jelas-jelas isi kulkasnya hanya satu, menampangkan namanya di situ hanya menjadi sebuah pemborosan.

Takut merusak, Akai mengikuti saran Riri untuk berkunjung ke apartemen keluarga Surahan. Tepat ketika jam raksasa berdentang sembilan kali, Akai telah berdiri di depan pintu berwarna biru tua. Dia baru saja hendak mengetuk ketika pintu itu terbuka sendiri dan seorang wanita berambut merah berdiri tepat di hadapannya. Kedua tangannya memegang plastik sampah berwarna hitam besar berbau tak sedap.

"Oh," wanita itu terkesiap, "kau pasti Akai."

Akai mengangguk pelan. Matanya melirik ke arah belakang wanita tersebut--yang ia perkirakan sebagai Megraia, melihat-lihat sosok yang ingin ia temui selama seminggu belakangan. Namun, selain kursi, sofa, lemari pajangan dan perabotan rumah lainnya, Akai tak menemukan orang lain di rumah.

Dugaan utama, Profesor Surahan telah berangkat kerja, yang menyebabkan kekecewaan pada diri Akai. Dia menyalahkan diri sendiri karena tidak bangun lebih pagi. Sekarang, Akai harus menginap lebih lama di apartemen Riri, yang agaknya tak mengenakkan hati terlalu merepotkan orang sebaik itu.

Sepertinya, Meg menyadari arah pandang Akai yang tidak terfokus padanya. Akan tetapi, nyatanya wanita itu salah sangka. "Terlepas kau berasal dari penampungan, sepertinya kau berteman baik dengan Iova," ucapnya.

Akai hampir melompat mendengar itu. Dia mulai bertanya-tanya, Apa aku terlihat seperti teman bagi Iova? Mereka bahkan tak pernah duduk bersama dalam keadaan baik. Kejadian semalam? Akai menyesal melakukannya. Tangannya yang memegang mangkuk sampai gemetaran mengingatnya, dia tengah menahan amarah.

"Sayangnya, Iova baru akan balik sekitar jam empat sore nanti." Megraia melanjutkan.

Cowok berambut merah itu tertawa garing. "I-iya. Sayang, ya ..." Dia ingin memukul diri sendiri setelah mengatakan itu.

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now