31. Eunah dan Sebuah Rahasia

584 100 14
                                    

Eunah berbaring di atas tanah keras yang hangat, memandang langit-langit gua yang belum berubah bentuknya. Dia menggeser kepalanya, memperhatikan coretan waktu ia terkurung di sini. Dua puluh empat belas baris, berarti sudah 24 kali dia teringat untuk menandai dindingnya. Sekarang, dia akan menambah garis ke-25-nya, tetapi dia terlalu lelah untuk menggerakkan tangan.

Gadis dari permukaan itu memutar kepala ke arah sebaliknya, dimana sel tempat orang yang sangat mirip dengan ayahnya berada. Akan tetapi, dari sisi ini Eunah hanya mampu melihat kegelapan. Ingin sekali Eunah bercakap-cakap lebih banyak, tetapi amnesia yang diderita oleh pria itu membuat Eunah tak dapat bertindak lebih. Pembicaraan mereka selama beberapa waktu terakhir hanya seputar Penghuni Bumi dan Kota Bawah Tanah yang berhasil dilihat oleh ayahnya. Eunah juga menceritakan bagaimana keadaan permukaan. Namun, tentu saja dengan sangat berhati-hati agar lidahnya tidak menyenggol topik tentang keluarganya. 

Dia menghela napas panjang, sengaja dibesarkannya suara agar ayahnya mendengar. Namun, tak ada tanda-tanda pria itu akan menjawab. Sel yang gelap tetap gelap.

Eunah mengernyutkan dahi. Dia bangun dari pembaringannya, mengambil kerikil terdekat , lalu melempar sekuat tenaga. Batu itu mengenai jeruji tanah penjara, kemudian memantul pelan ke atas tanah. Eunah kembali melakukan hal yang sama dan, ketika kerikil itu berhasil masuk, senyum memancar kuat di bibirnya. Walau begitu, masih tak ada petunjuk jawaban ada di depan mata.

Apa Ayah sedang tidur? Eunah mengeratkan pegangan pada jeruji selnya.

Dia kemudian mencoba mengeluarkan suara, tetapi kondisi tubuhnya terlalu lemah untuk menggetarkan pita di tenggorokannya. Gadis itu mundur ke belakang, menengadahkan tangan untuk mengambil air pada bebatuan dan meneguknya, tetapi yang keluar dari mulutnya hanya cicitan yang mungkin tak dapat didengar bahkan oleh kelelawar sekali pun.

Eunah menyerah. Dia bersandar pada sel penjaranya dan mulai berpikir untuk berhenti mengharapkan keluar dari sini. Lagi pula, keajaiban apa yang dapat muncul untuknya? Itu sama seperti berdoa kucing dapat berubah menjadi anjing. Para penghuni bumi bahkan tidak memberikan ia makanan. Bertahan sampai sejauh ini adalah hadiah terbesar kedua yang diberikan oleh Sang Penguasa selain kenyataan bahwa ia masih dapat hidup dengan cincin yang bersarang pada arterinya.

Tiba-tiba, suara raungan yang amat keras terdengar. Dinding batu bergetar, menjatuhkan butir-butir tanah ke atas rambut pirangnya.

Apa itu? Eunah bertanya-tanya dalam hati sewaktu kepalanya menengadah memperhatikan langit-langit gua yang telah berhenti merespons.

Berhentinya raungan dan getaran itu disusul dengan kemunculan tiga sosok penghuni bumi yang datang sambil mengiring Ayah Eunah. Tuan Kincaid terlihat lebih berantakan dari yang terakhir kali diingat oleh Eunah. Satu-satunya daun telinganya robek, begitu pula sudut bibir sebelah kirinya. Pakaian kumalnya bertambah kotor dan lebih layak disimpan di tempat sampah daripada dikenakan di badan.

Apa yang telah mereka lakukan pada Ayah? Eunah ingin berteriak, tetapi pita suaranya terasa perih. Padahal, dia tak pernah ingat melakukan sesuatu yang membutuhkan suara berlebih akhir-akhir ini.

Raungan kembali terdengar.

"Ah, sial!" Sesosok penghuni bumi berkata. Air liurnya muncrat sampai ke dahi Eunah, memaksa gadis itu mengenakan ujung lengan sweternya untuk membersihkan cairan bau tersebut. "Sotteaneo benar-benar berada dalam masa terburuknya." Sang penghuni bumi melirik ke arah Tuan Kincaid yang saking lelahnya tak dapat berdiri dengan kakinya sendiri. "Ini semua karena manusia ini sudah tidak berguna lagi!" lanjutnya sambil menyentuh jeruji tanah tempat pria itu biasa ditempatkan.

Namun, alih-alih terlempar dengan penuh kasihan, Tuan Kincaid malah menarik penghuni bumi terkecil yang mengantarnya. Mereka berdua terjerembap di atas tanah sel yang dingin tepat ketika jeruji tanah kembali menutup.

"Keluarkan aku!" Penghuni Bumi itu berteriak dengan tiga mulutnya yang berjejer vertikal di kepala. Tiga suara itu beresonansi membentuk gema yang kedengaran aneh di antara dinding gua. "Manusia bedebah! Enak saja kau membuatku masuk ke tempat ini!" Makhluk itu meludah ke dalam kegelapan.

Penghuni bumi berliur berlebihan mendekatkan tangannya ke sel, membantu temannya untuk keluar dari penjara Tuan Kincaid. "Biarkan dia, Blergh. Manusia itu juga akan segera menemui ajalnya."

Blergh kembali meludah dan melangkah keluar. "Andai yang satu ini bisa digunakan, kita tidak harus bersusah-susah seperti ini."

"Nah, yang tua saja tidak berguna, apalagi yang masih belum dewasa," balas si liur berlebihan sebelum keduanya menghilang dari balik pintu batu penjara di ujung lorong.

Para penghuni bumi mengatakan soal Sotteaneo. Eunah masih ingat tentang makhluk itu. Morgan pernah menceritakannya sekali sewaktu mengantarnya ke dalam jebakan. Sang Penjaga Bawah Tanah, alasan sebenarnya keberadaan bangsawan sangat diperlukan bagi kota dan kenapa pemerintah sampai memberikan berbagai keistimewaan pada mereka.

Tuan Kincaid mengerang, membuat Eunah merapatkan wajah ke selnya. Gadis itu menunjukkan raut paling khawatirnya karena sedang tak bisa mengeluarkan suara, berharap ayahnya mampu menangkap maksudnya.

Mata Tuan Kincaid yang tidak bengkak bertemu dengan Eunah. Manik hazel itu seolah berkata, Tenanglah, Eunah. semua baik-baik saja. Persis seperti waktu dulu, ketika keluarga Kincaid masih lengkap di permukaan sana. Sama di masa itu, sewaktu Tuan Kincaid menunjukkan wajahnya untuk terakhir kali.

Pria itu mengangkat tangan kanannya. Ada batu giok hijau tua seukuran genggaman tangan di sana. Perlahan, batu itu didekatkan ke arah jeruji dan tanah di sekitar meleleh, membentuk celah kecil yang hanya seukuran wajah. Tuan Kincaid menghela napas, lalu menurunkan kembali tangannya. Pria itu bersandar pada sisi dinding penjaranya, memperhatikan Eunah yang sedari tadi terdiam memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya.

"Aku mencuri giok ini dari penghuni bumi tadi."

Kilasan kejadian saat pria itu menarik penghuni bumi masuk ke dalam sel terlintas di kepala Eunah. Mata Eunah mengerjap-ngerjap, kemudian mengernyitkan dahi memberi raut ingin tahu.

"Mereka menggunakan benda ini untuk memperkuat sihir mereka, dengan konsekuensi energi akan terserap. Asalnya dari sisik Sotteaneo. Kautahu, kan, makhluk pelindung bawah tanah?"

Suara erangan menjalar di antara dinding bilik-bilik penjara.

"Itu Sotteaneo. Dia sedang berada dalam masa estrus--birahi, makanya terus-menerus gelisah." Pria itu kembali menghela napas. Dia mengangkat tangan lemah, memperhatikan tiap guratan yang dimilikinya. "Yang aku tahu ... bertahun-tahun lalu aku diculik oleh para penghuni bumi. Mereka memanfaatkan kemampuanku untuk menenangkan Sotteaneo. Maksudku, entah mengapa makhluk itu selalu tenang ketika aku berada di sisinya dan mengelus wajahnya. Sayang, kali ini tidak berhasil. Sotteano masih gelisah dan banyak bangsawan menjadi korban."

Dia mengepalkan tangan kuat-kuat. "Sotteaneo biasanya akan tenang ketika memakan sepasang manusia, terutama yang saling mencintai--mungkin sebagai bentuk kecemburuannya karena ia tak pernah punya pasangan selama berabad-abad. Itulah fungsi rahasia bangsawan yang dirahasiakan oleh pemerintah bawah tanah, menjadi makan malam nikmat untuk Sotteaneo. Tak ada bangsawan yang mengetahuinya."

Pria itu kembali bungkam. Kedua alisnya saling bertaut. Sewaktu ia menurunkan tangan, suara klontangan kaleng terdengar beberapa bilik dari tempat mereka berdua ada.

"Aku lupa, ada satu yang mengetahuinya." Tuan Kincaid memutar kepala perlahan. Eunah mengikuti ke arah yang sama dan matanya menangkap sosok Morgan dengan wajah memerah dan mata membengkak setelah menangis. "Keluargamu mengetahui soal itu, 'kan, Morgan Eden?" 

Anak berkacamata itu membungkukkan badan, mengambil batu giok yang terletak di sebelah Tuan Kincaid, lalu mendekatkan batu giok ke arah sel. Sebuah celah besar terbentuk, cukup sebagai tempat lewat sekalipun perlu merangkak. Cowok itu melakukan hal yang sama pada penjara Eunah, sehingga tak butuh waktu lama sampai ketiga manusia itu telah berada di lorong penjara. Pemandangan terlihat berbeda dari sini, membuat Eunah merasa bahagia, tetapi di sisi lain juga cukup tegang.

"Aku hanya membantu sekali ini saja," kata Morgan, mengisap ingusnya yang hampir jatuh. "Kau harus menepati janjimu."

Tuan Kincaid mengelus kepala cowok itu. "Aku tidak akan menghianati kepercayaanmu." Kemudian, menoleh pada Eunah, tersenyum simpul. "Ayo pergi dari sini, Eunah."

Walau masih punya banyak pertanyaan, gadis itu tetap mengikuti langkah ayahnya. []

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now