22. Iova dan Permintaan Bangsawan

543 110 9
                                    

Seminggu bukanlah waktu yang cepat bagi Iova. Terutama karena, entah mengapa, dia merasa ada sesuatu yang salah. Apakah dia mulai sadar atas perbuatannya yang berulang kali kabur dari bibinya saat disuruh memasak atau sebab sikapnya yang selalu menunda-nunda untuk menyelesaikan tugas sekolah. Bahkan, hari ini Iova mendapatkan kelas tambahan lantaran telat mengumpulkan pr akibat bolos minggu lalu pada beberapa guru mata pelajaran hari Senin.

Dan tugas itu harus diselesaikan sebelum lampu kota berubah warna menjadi jingga atau sekitar tiga jam lagi.

"Tidak akan selesai!" gerutu Iova melempar penanya ke meja terdepan. Dia frustasi karena mendengar jam raksasa berdentang lima belas kali, sementara ia baru menyelesaikan lima puluh persen dari tugasnya. Dua ratus soal hanya karena aku terlambat sepuluh menit. Ini pembunuhan namanya! tambahnya dalam hati tatkala mengambil pena yang lain.

Iova menghela napas bersamaan dengan beberapa teman sekelasnya yang muncul dari balik pintu ganda yang terbuka lebar. Tiga orang gadis bangsawan dengan dandanan mewah berjalan mengangkat dagu ke arah Iova. Sang pahlawan mendecih, mengerling kesal ke arah para bangsawan tersebut sebelum kembali menatap kertas-kertas yang bertebaran di atas mejanya.

Jantung Iova serasa mau copot ketika tangan berhiaskan jam tangan emas memegangi pundaknya.

"Halo, Surahan," kata yang berambut ombre merah hijau gelombang. "Sepertinya kau sedang kesulitan." Gadis itu melipat tangan di depan dada.

Iova memutar mata. "Menyingkirlah! Aku tidak mau berurusan dengan kalian."

Ketiganya terkekeh segan.

"Kautahu," lanjut si gelombang, "kami punya hal yang harus diselesaikan denganmu."

"Dan, percayalah aku juga punya urusan lain." Iova membalas ketus.

"Ayolah, Surahan. Kita sudah berteman sejak di sekolah dasar." Gadis berambut ombre biru hijau mengambil kursi dan duduk di sebelah Iova.

"Lebih tepatnya, satu sekolah sejak sekolah dasar," ralat Iova. "Sungguh, pergilah. Nama kalian saja aku tidak ingat."

Ketiganya saling pandang, kemudian menatap Iova dengan tatapan tak percaya.

Para gadis bangsawan mulai berunding dengan posisi membelakangi Iova, sementara Iova kembali mengerjakan soalnya. Tepat sewaktu Iova berhasil menyelesaikan tiga soal lagi. Gadis berambut gelombang berdeham sekali sebelum melipat tangannya di depan dada.

"Mungkin ada baiknya kami mulai dengan perkenalan diri," ujarnya.

Iova hanya memutar mata tidak peduli.

Sama acuhnya dengan Iova, si rambut gelombang pun berkata, "Namaku Xanh Abraham," dia menunjuk temannya yang berambut ombre biru, "ini Azul Cielo, sedangkan yang di sebelah kiriku adalah," dirangkulnya gadis berambut ombre merah, "Keya Anteneh."

Keya Anteneh melambaikan tangan.

"Kami butuh bantuanmu, Iova Surahan," lanjut Xanx setelah menarik napas dalam-dalam.

Iova mendengus. "Lalu, kenapa aku harus membantu kalian?" Diputar-putarnya pena di antara sela jemarinya. "Aku mungkin pahlawan, tetapi bukan berarti aku dapat menolong semua orang ketika aku punya urusan sendiri." Dia berdiri sambil memukul meja sekali. "Sekarang, biarkan aku menyelesaikan tugasku sebelum pena ini menancap di mata kalian." Iova mengangkat pena setinggi dagu.

Alis Xanx naik sebelah. "Kau mengaku pahlawan, tetapi apa pahlawan boleh berbicara seperti itu?" Xanx membalas. "Kami adalah anggota bangsawan, ingat? Kau bisa saja tidak pulang ke rumah untuk selamanya kalau kami ingin."

"Hanya karena pemerintah memberi kalian hak istimewa, bukan berarti kalian bebas mengancam orang lain."

"Dan, hanya karena pamanmu punya peran penting di kota, bukan berarti kau bebas melecehkan orang lain!"

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now