29. Akai dan Pelayan Xanx

564 109 8
                                    

Akai menarik napas dalam-dalam sewaktu menatap pintu ganda setinggi dua meter di hadapannya. Dia agak gugup sebab sudah beberapa tahun sejak cowok itu menginjakkan kaki di tempat seperti ini, stalagmit mewah yang menjadi tempat perkumpulan para bangsawan. Rasanya dia sudah hampir lupa hidup dalam kekangan tatapan orang-orang yang menyembah status bangsawan yang dulu pernah ia emban. Walau demikian, dia tak akan pernah meninggalkan memori bagaimana para pemegang jabatan itu memperlakukan ia setelah kedua orang tuanya tewas.

Pintu ganda terbuka. Seseorang berpakaian pelayan menyambut Akai dengan menundukkan kepalanya sopan. Pria itu berkata, "Selamat datang Tuan Cameron," yang membuat Akai bergidik. Alisnya naik sebelah.

"Kenapa kau malah berekspresi seperti itu?" Xanx terkekeh sopan di sofa hijau tua berbordir emas sembari meletakkan gelas berisi minuman berwarna merah tua di atas meja kopi. Gadis bangsawan itu mengenakan gaun ungu tanpa lengan yang dipadukan sarung tangan panjang sesiku berwarna putih. Rambutnya yang berwarna cokelat terang terurai tanpa aksesoris.

Akai merapikan posisi jasnya serta meluruskan punggung ketika pelayan yang membukakan ia pintu mengambil posisi di samping Xanx. "Hanya merasa aneh karena dipanggil dengan nama itu," ucapnya, kemudian duduk pada sofa di hadapan Xanx setelah bangsawan itu mempersilahkan.

Sang bangsawan memperhatikan Akai yang kini mengenakan jas berwarna biru tua. Warna elegan yang agaknya tidak cocok dengan rambutnya, tetapi terlihat menawan di mata Xanx. Bahkan, sekalipun sudah tidak memegang nama bangsawan selama lebih kurang empat tahun, Akai belum kehilangan kharismanya.

"Aku terkejut pilihanku pada jas itu sesuai dengan ukuranmu. Padahal, kita tak pernah bertemu setelah kau masuk penampungan." Dia tersenyum. "Hal mengejutkan lainnya, aku terkejut Surahan mengenalmu. Kupikir, anak itu tak punya teman."

Xanx terkekeh, begitu pula Akai. "Saya ragu kami berteman, Nona Abraham." Sang pemuda merah berkomentar.

Kedua alis Xanx saling bertaut. "Nona?" Gadis itu mendengus. "Kau masih punya sopan santun rupanya, Cameron."

Akai tersenyum sinis.

"Aku tidak tahu apa tujuanmu menemui Profesor Surahan." Xanx menyilangkan tangan dan kaki. "Ilmuwan itu selalu sok sibuk, padahal dia punya waktu untuk keluarganya. Seolah ia tak tahu bahwa uang kamilah yang menyebabkan dia dapat bebas berkeliaran di kota ini." Dia mengalihkan pandangan pada kuku-kukunya yang bercat merah. "Kau harus berterima kasih padaku karena memberikan kesempatan untuk berbicara dengan Profesor."

"Secara teknis, Nona Abraham, terima kasih itu untuk Iova."

"Kau memanggilnya dengan nama depan."

"Seperti Anda yang memanggil saya dengan Cameron."

"Bukankah itu karena kau tak punya nama belakang?"

Akai mendecih pelan, diikuti suara gelas yang berdenting di meja ketika pelayan Xanx menyuguhkannya.

"Kautahu, mungkin ini sedikit terlambat, tetapi aku turut berduka soal orang tuamu."

Alis Akai naik sebelah. Sedikit? pikirnya. Dia menatap gelas di hadapannya. Minuman merah itu memantulkan wajahnya dengan model rambut paling rapi yang pernah bertengger di kepalanya selama empat tahun terakhir. "Terima kasih, Nona," ujar Akai sewaktu mendengar pelayan Xanx berdeham pelan. Walau aku sudah tak butuh belas kasihmu sekarang.

Suara ketukan pintu terdengar. Pelayan Xanx melangkah untuk membukanya. Tak butuh waktu lama hingga seorang gadis berambut hitam muncul dari baliknya.

Iova melangkah masuk. Senyum lebar menghiasi bibirnya. Sang pahlawan berkata, "Kau terlihat aneh dengan pakaian itu, Penjahat." Dia tertawa terbahak-bahak, kemudian berlari mendekat ke arah Akai. "Kau tak akan percaya berapa banyak penghuni bumi yang kulihat di pesta ini!" bisiknya panik.

Another Way to Destroy The WorldNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ