4. Iova dan Misinya

1.8K 289 94
                                    

"Lima kroon." Pria berotot itu menyilangkan tangan, mengangkat dagu sebagai tanda kuasa. Memandangi Iova dengan mata kecilnya, dia mendengus. "Kau tak boleh masuk ke dalam bila tak punya lima kroon," lanjutnya, kemudian meludah ke samping. Wajahnya tampak kesal, seolah telah bosan menangani anak-anak di bawah umur seperti Iova.

"Ini, kan, penalti publik," protes Iova. "Kenapa aku harus membayar?"

Pria berotot itu memutar mata. "Ini bukan tontonan anak kecil, nak. Bila tak mau bayar, ya, tak usah masuk." Dia menghela napas. "Selanjutnya!" serunya dengan tangan yang dikibas seolah mengusir Iova.

Iova menggerutu tak senang. Dengan berat hati ia pun melangkah menjauh dari stadion tersebut. Setelah dirasa jaraknya cukup jauh dari penjaga, Iova menoleh dan mengamati bangunan stadion berbentuk piramida terbalik yang menjadi satu-satunya bangunan dengan warna tercerah di Kota Bawah Tanah, kuning dan jingga, seakan sengaja dibuat untuk menarik minat orang-orang yang tak menyenangi olahraga. Akan tetapi, bukankah Penalti publik bukan sejenis cabang olahraga? Iova kembali menghela napas.

Rupa pamannya tiba-tiba muncul di kepala Iova. Dia menggerutu tak senang. Kalau Paman Pern pasti akan mengizinkan aku masuk, gerutunya dalam hati.

Sebagai seseorang yang punya pengaruh cukup besar di pemerintahan, paman Iova memang hampir dapat melakukan apa saja semaunya. Orang-orang tunduk pada kecerdasan Pernaish Surahan, termasuk para petinggi tentu saja, kecuali mereka yang memang tak senang padanya sedari awal.

Iova sendiri sangat mengagumi Paman Pern. Pria berkacamata besar itulah yang mendorong Iova untuk menjadi pahlawan. Paman Pern sangat pandai bercerita, utamanya cerita-cerita lama yang mungkin sudah berumur lebih dari seribu tahun. Paman Pern adalah orang yang mengenalkan Iova pada keajaiban sebelum musim dingin panjang terjadi, permukaan delapan ratus tahun lalu.

Entah dari mana Paman Pern mengetahui tentang pahlawan-pahlawan super atau benda-benda yang kini terpajang di rapi di kamar Iova: figure action, komik-komik cetak ulang pra-bencana besar, dan video-video lama tentang bela diri masa lalu. Namun, satu hal yang pasti, Iova bersyukur dikenalkan dengan hal-hal itu. Jika tak pernah terjadi, mungkin dia akan menjadi gadis biasa dengan kegemaran biasa dan, tentu saja, hari-hari biasa. Itu penghinaan besar bagi seorang Iova Surahan.

Andai Paman Pern bisa lebih meluangkan waktunya lagi seperti dulu. Iova mengamati orang-orang yang memasuki stadion dengan mulus. Dahinya mengernyit bingung. Apa, sih, yang sedang dikerjakan Paman Pern?

Gadis itu mengalihkan pikirannya kepada cara agar ia dapat menonton penalti publik tanpa harus membayar. Dia tak mungkin mencari bibinya agar dapat ikut masuk ke dalam. Itu seperti penghinaan, batin Iova. Pembantu pahlawan yang mengurung pahlawan sudah seperti penjahat. Walau berpikir demikian, Iova enggan menganggap bibinya sebagai penjahat sungguhan.

Iova mengacak-acak rambutnya sendiri. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjongkok di luar toko olahraga. Wajahnya menekuk, terlihat marah. Bibirnya manyun tanda kesal. Orang-orang yang berjalan di hadapannya hanya melirik sebentar, kemudian terkekeh setelah jauh dari Iova atau berdecak-decak seolah maklum dengan tingkah anak yang sedang mengalami pubertas.

Gadis itu menghela napas pasrah.

Dia terus memperhatikan pria berotot yang menjaga pintu masuk stadion. Ingin sekali ia kembali ke sana dan memberitahukan misi penting yang sedang ia jalani kepada pria itu. Akan tetapi, ini rahasia. Iova tak bisa mengumbar segala sesuatu kepada orang asing. Sekalipun dia terkenal sebagai pahlawan di kota ini, Iova harus menjaga identitas rahasianya. Padahal, dia tak pernah mengenakan topeng ketika sedang bertugas. Entah apa maksud Iova dengan menjaga identitas.

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now