6. Dae dan Sumpahnya

1.8K 231 17
                                    

Sebuah kaleng baru saja mendarat mulus ke dalam tong sampah. Pelakunya tidak lain adalah Dae Kincaid, seorang atlet taekwondo terkenal dari salah satu kota di permukaan, yaitu Kota Yuza. Cowok itu baru saja keluar dari dojang--tempat latihan taekwondo--di mana ia biasa berlatih. Keringat menetes dari pelipisnya, tetapi tak terbersit sedikit pun keinginan Dae untuk menghapusnya. Dia duduk berselonjor untuk meluruskan kaki. Kedua tangannya sebagai penumpu, sementara kepalanya menengadah ke atas untuk menikmati warna biru langit yang terang.

"Dae?" Seseorang terdengar memanggil akrab. Pintu yang setengah tertutup di belakang Dae terbuka lebar. Gadis berambut pirang yang wajahnya terlihat mirip dengan Dae berkacak pinggang. Pada bahunya ada handuk, sedangkan tangan kanannya memegang botol air minum separuh penuh. Hari ini mungkin cukup hangat, tetapi gadis itu menggunakan sweter biru muda dan kaos kaki tebal setinggi paha berwarna merah muda terang.

Dae hanya menoleh sebentar, kemudian mengalihkan perhatian kembali pada langit.

Gadis itu bernama Eunah Kincaid, saudari kembar Dae. Dia duduk tepat di sebelah sang atlet, menatap mata heterochromia Dae, sebelah hazel dan sebelah lagi seperti warna rambut cowok itu, amber. Menundukkan kepala, gadis itu memberikan botol minumnya pada Dae yang diterima oleh cowok itu dengan malas. "Dae sudah berusaha keras," ucapnya setengah berbisik. Untunglah Dae dapat mendengarnya.

"Namun, bagaimana ..." Dae berucap setelah selesai meneguk minum, "bagaimana kalau aku kalah? Maksudku, Eunah, semua orang menaruh harapan padaku. Kautahu, kan, punya kemampuan bukan berarti jago. Sekalipun sabeum--instruktur taekwondo--berkata bahwa asal aku percaya diri pasti akan berhasil, bagaimana kalau atlet dari kota-kota lain lebih hebat dariku? Menjadi atlet perwakilan kota itu--"

"Berhentilah, Dae. Eunah pusing mendengar keluhan Dae." Bibir Eunah monyong ke depan, kedua alisnya bertaut. "Dae selalu saja bersikap seperti itu. Bagaimana kalau itulah, bagaimana kalau inilah. Dae pikir Eunah senang mendengarnya?" Dia berdiri, memutar tubuh untuk membuka pintu masuk dojang. "Cepatlah kembali, Dae. Eunah ingin melihat Dae berlatih." Gadis itu melempar handuk yang dibawanya pada Dae, lalu menghilang dari balik pintu.

Dae menerima handuk itu dengan setengah hati. Dia menghela napas. Sesungguhnya, Dae paham dengan perkataan Eunah. Bukan keinginannya untuk takut kalah atau tidak berani dalam bertindak. Dae memang seperti ini sedari dulu. Mungkin sikap percaya diri milik Dae telah diambil semua oleh Eunah sebelum mereka lahir. Padahal, Eunah tak akan bisa apa-apa andai tidak ada cincin di jantungnya.

Semua orang tahu kalau mengubah sifat seseorang tidak semudah membalikkan telapak tangan atau mengajari seseorang untuk mengikat tali sepatu dengan benar. Kasus ini sama seperti orang-orang bawah tanah yang enggan kembali ke permukaan karena takut akan bencana serupa. Eunah pernah bilang kalau Kaum Bawah--sebutan untuk orang-orang bawah tanah--merupakan kaum yang paling susah move on di dunia. Belum lagi peraturan bahwa Kaum Atas--sebutan untuk orang-orang permukaan--tidak boleh mengunjungi Kota Bawah Tanah.

Primitif sekali, pikir Dae. Tak habis pikir kenapa ibu sangat senang dengan mereka. Cowok itu menghela napas untuk menghapus pikirannya yang entah mengapa tiba-tiba melantur ke Kaum Bawah.

Dae merenggangkan tangan ke atas, lalu kembali memandangi langit sebelum melangkah ke dalam dojang sambil mengelap keringatnya. Ditelusurinya lorong tanpa cahaya itu. Untung saja lorong ini satu arah, jadi tak ada kemungkinan Dae akan tersesat. Lagi pula, Dae sudah lama mengenal tempat ini. Sekalipun luas, dia telah menghafal ruangan demi ruangan yang ada di dojang.

Sabeum Nam berdiri di tengah lingkaran murid-muridnya yang rata-rata bersabuk biru hingga merah. Instruksinya masih terkait tentang kejuaraan taekwondo yang tidak lama lagi. Melihat Dae masuk ke dalam ruangan, pria paruh baya itu berhenti berbicara. Ditatapnya cowok yang tengah mengambil posisi berdiri di sebelah kakak perempuannya, tetapi Dae hanya terdiam dan menatap jari-jari kakinya yang tidak beralas.

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now