2. Akai dan Koleganya

2.7K 354 36
                                    

Selepas Iova pergi, Akai dan teman-temannya berhenti tertawa. Mereka mulai memikirkan kesibukan lain daripada mengejek gadis lima belas tahun yang masa pubernya belum tiba. Setelah lima menit sunyi senyap, mereka memutuskan untuk bermain tebak kata. Permainan itu berjalan selama lebih dari setengah jam, yang didominasi kemenangan anak berkacamata, Morgan. Ketika perut anak berambut pirang berbunyi teramat keras dan mengagetkan, barulah mereka sadar kalau waktu sudah tengah hari.

"Aku bosan!" teriak anak bermata sipit dan berbaju compang-camping. "Ini ketiga kalinya aku berkunjung ke balik sel, dan kali ini aku benar-benar tidak bergairah."

"Kau benar, Luke." Morgan mengiakan. Dia memperbaiki posisi kacamatanya. "Aku janji tidak akan berbuat begini lagi."

"Jadi, sekarang kau sudah kembali menjadi Morgan-si-anak-baik?" kata anak berambut pirang dengan nada sarkastis. Dia menjulurkan lidah, mengejek Morgan yang memilih untuk tidak membalas, tetapi tangannya tetap memegangi perutnya yang lapar.

"Sudahlah, Shawn," tegur anak berambut gelap yang matanya jauh lebih sipit daripada Luke. "Ini pengalaman pertama Morgan. Jadi, itu hal wajar kalau dia merasa takut." Anak itu mengerling ke arah Akai yang hanya mengamati mereka semua dalam diam sejak tadi. "Benar, kan, bos?"

"Yeah, kurasa begitu, Lee." Akai menjawab ogah-ogahan.

Semua anak memandangi Akai dengan tatap kekaguman, kecuali Morgan yang mendengus di belakang ketiganya. Dia menopang satu tangannya di atas lutut. Rautnya berkata kalau dia tidak mengerti kenapa Akai dianggap sampai seperti itu oleh Luke, Shawn dan Lee, tetapi kalimat yang keluar dari dia selanjutnya membuat teman-teman yang lain menghujatnya.

"Akai itu legenda!"

"Dia guru besar!"

"Kutu buku diam saja!"

Morgan memperbaiki posisi kacamatanya. "Akai hanya tahu berbuat onar. Kalian tahu jumlah penalti yang didapatkannya bisa saja masuk rekor Kota Bawah Tanah--sayang kategori peraih penalti terbanyak itu tak ada."

"143 penalti dalam kurun waktu lima tahun. Itu belum dihitung dengan detensi yang ia dapatkan selama di penampungan." Shawn mengikuti gaya Morgan saat memperbaiki posisi kacamata, bedanya dia mengelus jembatan hidung.

Kedua tangan Akai masuk ke dalam kantong celana puntungnya. "Bukan hal yang patut dibanggakan," katanya datar sembari menyenderkan tubuh pada dinding tanah sel tahanan.

"Dengan jumlah seperti itu, bukankah aneh kenapa pemerintah tetap mempertahankan Akai?" Lee bergaya sok misterius. Tangannya seolah memegangi pipa rokok, menirukan gaya detektif di cerita-cerita.

Luke menyeringai. "Itulah mengapa kami menganggap Akai sebagai guru besar." Dia berdiri, kemudian melukis di udara secara dramatis. "Akai Si Hebat."

Shawn dan Lee bergabung dengan Luke. Mereka kini membentuk formasi di depan Morgan dan Akai--yang sudah geleng-geleng kepala melihat tingkah laku ketiga temannya. Mereka bertiga mulai menyanyikan lagu bertema Akai Si Hebat lengkap dengan tariannya (O, dia Akai, Akai, Akai. Contoh teladan anak-anak penampungan). Pada akhir pertunjukan kecil itu, ketiganya membungkuk dan memberi tepuk tangan untuk diri mereka sendiri. Wajah Akai memerah saking malunya, sementara Morgan melongo dengan mulut yang lebar sekali.

Mari lihat apa yang dikatakan Surahan kalau dia masih ada di sini, pikir Akai sambil menepuk dahinya sendiri.

Morgan melirik Akai. "Aku setuju dengan yang dikatakan Lee," ujarnya berbisik. "Bukannya bersikap paranoid, tetapi aku punya firasat buruk."

"Memangnya kau siapa? Cenayang?"

"Sebut saja begitu," tukas Morgan pasrah, seolah dia sudah sering dipanggil cenayang. "Pokoknya aku yakin kau harus hati-hati, Akai. Apa pun yang hendak kaulakukan selanjutnya, aku yakin tidak akan berjalan semulus kemarin."

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now