15. Akai dan Masa Lalunya

971 170 21
                                    

Mata Akai tidak henti-hentinya mengerjap. Seluruh tubuhnya gemetar. Dia benar-benar tidak percaya. Bagaimanapun juga, bertumpuk-tumpuk kroon sedang berada di hadapannya saat ini.

Kediaman di atas milik Tuan Wicked, gua ini juga pasti yang membuat Tuan Wicked, dan, walau Akai menolak untuk percaya, semua kroon ini tentu punya Tuan Wicked. Mungkin Akai bisa mengambil--setidaknya--satu kantong saja untuk memperbaiki gubuk reyot usaha reparasinya. Lagi pula, seberapa besar kemungkinan Tuan Wicked curiga jika ada kroon sebanyak ini?

"Apa ini emas?" Eunah bertanya dari balik bahu Akai.

Namun, Akai tidak menjawab. Mata dan pikirannya telah dipenuhi oleh kerlipan perunggu-perunggu kroon yang memantulkan cahaya hijau dinding gua. Saking bernafsunya, dialah yang berdiri paling dekat dengan harta itu. Tangannya terjulur ke depan, mencoba meraih kroon terdekat.

Tepat ketika sebuah tangan menariknya, Akai mengernyit. Wajah Iova hanya berjarak beberapa senti dari Akai saat cowok itu menoleh. Kedua alis Iova bertaut, rautnya tampak sangat serius. Bahkan, Akai baru menyadari kalau genggaman cewek itu sangat kencang ketika tangannya mulai berubah pucat. Dia mendecih kesal sebelum mengeluarkan sumpah serapah.

"Gunakan otakmu, bodoh! Ini tidak mungkin kroon!"

Akai menatap Iova sinis. "Kalau bukan kroon apa lagi?" tuntut Akai sembari mengelus-ngelus pergelangan tangan yang kini mempunyai cetak keunguan di sana.

"Kautahu peraturannya, 'kan?"

Anak lelaki itu terdiam dan memperhatikan sekitar. Rambut merahnya yang lembap meneteskan air ke atas kroon-kroon di bawahnya, menghasilkan bunyi aneh di antara harta itu. Akai memasuki gua lebih dalam, meninggalkan Iova yang sedang menjelaskan salah satu peraturan Kota Bawah Tanah pada Eunah.

"Jumlah uang yang boleh kausimpan di luar bank terbatas menurut tingkatan kasta." Nada Iova menjelaskan terdengar seperti orang sok tahu. Akai memutar mata.

"Peraturan macam apa itu?" tanya Eunah, terdengar heran. Kentara sekali makhluk permukaan ini merasa peraturan itu tidak masuk akal. Bila benar begitu, Akai bersyukur karena ada yang sependapat dengannya.

Sejujurnya, sejak Akai tiba di penampungan, dia mulai penasaran dengan Kota Bawah Tanah. Peraturan-peraturan yang tidak jelas maksud dan tujuannya bertebaran, menjamur di kalangan penduduk tanpa ada seorang pun yang merasa janggal. Peraturan-peraturan itu membuat anak-anak takut kehilangan orang tua dan orang dewasa takut menjadi tua. Bahkan, penduduk dengan usia produktif enggan menjadi kaya. Mereka hanya berlomba menjadi orang yang paling dermawan dengan mewakafkan harta benda mereka.

Lalu, ke mana semua uang sumbangan yang diberikan itu? Bila diserahkan kepada Lembaga Wakaf Kota Bawah Tanah, kenapa Akai tidak pernah mendengar anak-anak penampungan yang bersekolah? Atau apakah orang-orang mendapatkan bantuan untuk pengembangan usaha? Akai hanya tahu kalau pemerintahan Kota Bawah Tanah penuh misteri.

Dan, yang paling penting, kenapa pemerintah bego itu membatalkan hukuman penalti publikku kemarin? Pasti ada sesuatu. Akai menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sebenarnya, Akai sangat ingat apa yang telinganya mampu tangkap ketika Profesor Surahan memasuki area penalti. Tubuh kecil lelaki itu menerobos tentara dengan sangat mudah. Dia mendesis ke arah Panglima Riddle, seperti ular yang berbicara dari ujung lidahnya. Suaranya getir, tetapi aura yang dipancarkan penuh kuasa. Mata violetnya saat itu mengkilap seperti permata.

"Kautahu, Carl. Anak ini terlalu penting untuk kehilangan nyawa sekarang." Kemudian, Profesor Surahan menyuruh Panglima Riddle untuk membungkuk dan mereka saling berbisik-bisik selama beberapa saat.

Setelahnya, Panglima Carl Riddle menegapkan badan tinggi besarnya dan melirik Akai dari balik bahunya. Dia terlihat enggan menuruti apa pun yang diperintahkan untuknya, tetapi ia tetap berkata kepada khalayak, "Penalti publik dibatalkan! Terdakwa dinyatakan tidak bersalah!"

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now