24. Akai dan Tawaran Riri

539 111 8
                                    

"Itu tidak super lagi kalau kau juga punya!" Iova membentak. "Kekuatan super hanya dimiliki oleh pahlawan dan bukan penjahat!"

"Cobalah untuk menggunakan otakmu, Surahan!" balas Akai tak ingin kalah. "Kita berada di situasi yang sama sekarang."

Iova menggeram, tapi tak terlihat hendak melawan lagi. Akai bersyukur karenanya. Dia tidak mau beradu mulut dengan gadis itu hanya karena sifat keras kepala dan kekanak-kanakannya. Merasa bahwa dirinya lebih dari orang lain pasti membuat Iova tidak mempunyai teman atau setidaknya begitulah menurut Akai. 

Akai menghela napas, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Dengar, aku butuh bantuanmu--" Gadis di depan matanya menunduk, menggumamkan sesuatu yang tak dapat didengar jelas oleh Akai. Cowok itu memanggil Iova, tetapi tak ada respons. Kemudian, ketika bahu si Mata Violet mulai bergetar, Akai bergerak maju satu langkah. "Iova?" panggilnya pelan. "Hei, kau kenapa?"

Gadis itu memicingkan mata, hampir menutup. "Aku tak peduli lagi!" tukasnya, menunjuk Akai tepat di hidung. "Mau kau sudah membantuku atau tidak, kau tetaplah penjahat!"

"Apa?"

Iova mendengus, lalu melangkah pongah ke dalam binatu.

Alis Akai naik sebelah. "Anak itu kenapa, sih?" Lagi-lagi, ia menggaruk kepalanya.

Akai datang menemui Iova sebab merasa bahwa hubungan mereka berdua akan membaik setelah semua yang terjadi. Eunah mungkin cantik--terutama karena warna kulitnya yang jauh lebih hidup dibanding penduduk Kota Bawah Tanah, tetapi jelas dia bukan bidadari dari dunia atas yang mampu mengubah sikap Iova terhadap Akai. Padahal, rentetan kelakuan aneh Sang Pahlawan diyakini oleh Akai sedikit mampu menandingi daftar panjang detensi yang ia peroleh sejak berada di Penampungan Pemerintah.

Cowok itu pun meneguk minumannya sampai habis yang diikuti desahan puas karena tenggorokannya tidak terasa sesakit sebelumnya. Berjalan ke arah tempat sampah terdekat yang berada di ujung lapangan parkir, Akai memandangi para manusia yang berlalu lalang di jalan besar seolah tak ada monster berbadan besar di sekitar mereka. Dia melempar sampahnya, lalu bersandar di salah satu kendaraan milik pengunjung binatu. Rasa lelah kentara dari sorot matanya.

Akai bingung harus tidur di mana malam ini. Sudah hampir seminggu ia kabur dari Penampungan Pemerintah dan memilih bersembunyi di bengkelnya. Namun, tempat itu pasti tidak aman lagi. Para Penghuni Bumi yang bekerja di Penampungan Pemerintah pasti akan ke sana cepat atau lambat untuk mencari Akai, kemudian membawanya pulang ke dalam penjara yang berkedok lembaga milik pemerintah.

Akai tak terima bila harus kembali ke penampungan tepat ketika otaknya telah mampu memahami bahwa tempat itu adalah salah satu markas monster dalam cerita rakyat tersebut. Akai enggan menemui para suster, koki dan pekerja Penampungan Pemerintah lainnya yang selama ini dikenalinya dengan sosok manusia ternyata para Penghuni Bumi dengan gigi-geligi yang seakan siap menancap di kulitmu kapan saja. Apalagi menyadari bahwa sebagian besar anak penampungan juga Penghuni Bumi.

Selain itu, ada satu hal lagi yang Akai syukuri dari sejak matanya memiliki kemampuan ini. Dia "mungkin" telah mengetahui alasan pemerintah membatalkan penalti publiknya. Akan tetapi, untuk memastikannya, dia memerlukan bantuan Iova atau lebih tepatnya yaitu bantuan paman Iova.

Apa aku mendatangi rumah Surahan saja, ya? Bagaimana kalau mengunjungi Gedung Kubus? Mungkin, ada sedikit kesempatan. Akai berpikir sambil memijat-mijat pelipisnya. Namun, segera ia menggeleng untuk mengusir ide buruk itu. Toh, dia memang sudah pernah mencobanya dan petugas keamanan Gedung Kubus tak akan mengizinkan orang seperti Akai untuk masuk apalagi sampai menemui orang penting layaknya Profesor Surahan.

Akai menegakkan badan, merenggangkan lehernya yang agak kaku, lalu melangkah ke arah yang berlawanan dari jalan yang ia dan Iova lalui sewaktu menuju binatu. Dia mengambil posisi terjauh dari badan jalan, mencoba untuk tidak sedikit pun melirik ke arah monster buruk rupa yang silih berganti berlalu di sebelahnya. Jemari kanan Akai memencet-mencet hidungnya sendiri untuk menyamarkan sikap bahwa ia tengah menutup hidung untuk menahan bau busuk yang dikeluarkan oleh mereka.

Another Way to Destroy The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang