3. Iova dan Penyelinapannya

2.3K 317 57
                                    

Iova melamun. Dia memandangi langit-langit gelap kota dengan beberapa stalaktit raksasa yang telah termodifikasi menjadi tempat tinggal. Lampu kediaman-kediaman tersebut berkerlap-kerlip, yang kata salah satu guru sainsnya mirip dengan bintang-bintang di langit.

Iova sudah membaca berbagai jenis buku-buku yang bercerita tentang astronomi--ilmu yang mempelajari tentang perbintangan, tetapi Iova ingin melihat langit dengan mata kepalanya sendiri dan bukan melalui foto-foto yang telah berusia ratusan tahun. Bahkan Iova yakin guru sainsnya sendiri pun belum pernah melihat bintang-bintang yang ia jelaskan.

Kota Bawah Tanah, tempat Iova tinggal sedari kecil, terletak puluhan meter jauh di bawah Bumi. Untuk dapat ke permukaan, jasa transportasi menyediakan kereta dengan tarif sekitar 5000 kroon untuk kelas ekonomi yang sayangnya, walau berlabel demikian, tetap saja hanya orang kaya yang sanggup untuk membayarnya. Biaya begitu pun belum termasuk dengan konsumsi selama perjalanan dan ongkos balik ke Kota Bawah Tanah. Lagi pula, dengan 5000 kroon, mungkin paman Iova bisa membeli rumah yang lebih besar ketimbang apartemen kecil mereka. Atau sebuah rumah minimalis dengan kolam renang berukuran 5x5 meter pada halamannya dengan sedikit bagian tersisa untuk tanaman-tanaman herba kepunyaan bibi Iova.

"Iova?" Suara bibinya terdengar memanggil. Iova menoleh dan mendapati wanita berambut merah memandanginya heran. Tangan kanan Bibi Meg memegang sendok sup yang tampaknya berwarna agak kemerahan. "Kau sudah selesai menumbuk jagung itu?"

Iova tersentak. Dia mengalihkan pandangannya kepada meja yang berada di hadapannya. Ada baskom kecil berisi jagung putih setengah hancur di sana, sementara tangan kanan Iova memegang gelas kaca yang bagian bawahnya menempel serbuk-serbuk jagung. "Err ... belum, Bi. Aku--"

"Kau sedang memikirkan hal penting," sela Bibi Meg, lantas menghela napas. "Kautahu Iova, aku akan menghargai bila kau memunculkan alasan yang lebih masuk akal. Tetapi, memikirkan hal penting? Itu salah satu alasan klise yang selalu kauucapkan."

Iova mengerutkan dahi. "Tetapi, aku memang memikirkan hal penting."

"Seperti?"

"Ya, seperti apakah kita bisa pindah ke markas yang lebih layak," Iova memandangi gelas di tangannya, "atau menciptakan senjata hebat untuk mendukung pertarunganku melawan para penjahat." Disimpannya gelas itu di depan matanya layaknya sebuah teropong. Iova memperhatikan bibinya melalui gelas, sebelah matanya ia tutup untuk memfokuskan pandangan. "Omong-omong aku tidak bisa melihat Bibi."

Bibi Meg mengambil gelas dari tangan Iova. "Berhenti bermain. Selesaikan pekerjaanmu," ucapnya tajam. Dia kembali menyodorkan gelas kepada keponakannya. Sendok supnya ia letakkan di atas meja.

Iova mengela napas panjang. "Tapi, Bibi Meg, pahlawan pembela kebenaran bekerja di jalan, bukannya memasak di rumah."

"Pahlawan pembela kebenaran tidak banyak omong, keponakanku sayang."

"Bibi tak terlihat seperti orang yang membutuhkan pertolongan, jadi sebaiknya aku tak perlu membantu Bibi." Iova melipat kedua tangan di depan dada, menolak untuk menerima gelas yang diberikan oleh bibinya. "Lagi pula, pembantu pahlawan memang bertugas untuk--"

Suara pintu depan diketuk tiga kali. Iova dan Bibi Meg terdiam bersamaan.

Bibi Meg melirik Iova, begitu pula Iova yang melirik bibinya. Mereka saling berkomunikasi lewat tatapan selama tiga detik sebelum Bibi Meg memberi isyarat jari untuk menyuruh Iova agar tetap tinggal di tempat. Iova mengangguk menyetujui, tetapi jari tangan kirinya ia bersilang di belakang pinggangnya. Setelah bibinya menghilang dari balik pintu, Iova mengendap-endap menuju ruang tamu.

Dari balik tembok koridor, mata Iova menangkap salah satu tetangganya, yang bernama Riri, datang berkunjung. Raut wanita itu tampak cemas, ketakutan, dan bersemangat dalam sekali waktu. Dia terlihat sangat energik, menyebabkan Bibi Meg harus membekap mulut wanita itu terlebih dahulu sebelum mempersilahkan ia melanjutkan ceritanya.

"Maafkan aku." Riri mengetuk kepalanya sendiri. "Kautahu, ini berita yang sangat hebat! Aku tidak bisa diam begitu saja."

Bibi Meg memutar matanya, tangannya ia silang di depan perut kecilnya. "Memangnya berita apa yang kaubawa, Riri?"

Riri tersenyum misterius, kedua matanya yang sipit ia lebih sipitkan lagi, hampir seperti memejamkan mata. Tangan kanannya ia naikkan hingga di sebelah pipi dan tubuhnya condong ke depan. Dia pun berkata, "Penalti publik, Meg."

Kedua mata Bibi Meg terbelalak.

"Untuk pertama kalinya dalam lima belas tahun," Riri mengedikkan bahu, "ada orang lain yang dijatuhi penalti publik." Riri menghembuskan napas panjang, lalu berkacak pinggang. "Apa kau tidak ingin tahu siapa dia? Apa jenis penaltinya? Bagaimana ia bisa disandingkan dengan kakak iparmu--"

"Cukup, Riri." Bibi Meg menatap tajam wanita berambut hitam legam di hadapannya. "Jangan ungkit-ungkit Petra."

Riri mengangkat kedua tangannya setinggi dada. "Oke. Aku tak akan mengungkit soal kakak iparmu, tetapi kau harus menemaniku untuk menyaksikan penalti ini."

Bibi Meg menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Baiklah," ucapnya setelah jeda. "Tunggu di sini sebentar." Riri pun membentuk huruf o dengan ibu jari dan telunjuk kanannya, mengiyakan dengan ekspresi serius.

Menyadari bibinya berjalan menuju koridor, Iova berlari lurus dan bersembunyi tepat di dalam kamarnya. Dia tidak menutup pintunya rapat-rapat untuk mengintip bibinya melalui celah. Bibi Meg terlihat memasuki ruangan di depan kamar Iova dan keluar bersama mantel cokelat dan selembar kerudung berwarna merah pucat.

Tatkala suara pintu depan terdengar tertutup, Iova keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu. Diperhatikannya pintu berwarna biru tua tersebut, terkunci. Hal itu terlihat dari titik cahaya merah yang berada di sebelah pintu. Sayang sekali karena pintu ini hanya dapat dibuka menggunakan kunci yang kini dibawa oleh Megraia. Ditambah lagi tak ada jalan lain di apartemen ini.

Iova mungkin terkurung, tetapi bukan Iova namanya bila tak menemukan jalan keluar.

Dia kembali memasuki kamarnya yang berada di sebelah kiri koridor rumah. Matanya menelusuri ruangan remang tersebut dan berhenti pada lemari yang setengah terbuka. Dia setengah berlari saat melangkah ke sana. Iova sedang penuh semangat. Dia punya misi untuk ditunaikan.

Tinggi Iova yang hanya 158 cm membuat ia perlu menarik kursi belajarnya agar dapat memanjat untuk memeriksa bagian atas rak-rak pakaiannya. Iova menarik semua tumpukan kain yang berada di bagian teratas, terdiri dari beberapa pasang seprei serta selimut, kemudian menebarnya di lantai kamar. Iova mematahkan jari-jemarinya hingga bunyi sebelum mengikatnya berlembar-lembar kain itu kuat-kuat.

Gadis bermata violet itu menoleh ke arah jendela kamarnya yang tirainya tak pernah dibuka selama hampir sebulan. Iova bergumam, "Kini lokasi markasku tidak rahasia lagi," kemudian menghela napas pasrah.

Iova menarik tali tirainya ke bawah. Cahaya lampu Kota Bawah Tanah yang menyilaukan menerjang memasuki kamarnya. Ruang pribadi Iova yang penuh dengan benda-benda seputar pahlawan super ratusan tahun lalu berkilau seolah mendukung rencana Iova. Figur-figur aksi, poster-poster, serta komik-komik tua yang tersusun rapi di rak bukunya membuat Iova tersenyum simpul.

"Aku akan menyampaikan pesan kalian padanya," ucap Iova penuh percaya diri. Tangan kirinya ia kepalkan depan dada.

Iova mengikat ujung selimutnya pada kaki tempat tidurnya, kemudian melemparkan sisa untaian tersebut ke bawah jendela. Masih ada jarak sekitar tiga meter untuk sampai dengan selamat di atas tanah, tetapi Iova sudah menghitungnya. Dia yakin 98% tidak akan terluka.

Saat tengah memanjat turun, Iova melihat kereta menuju permukaan merayap di dinding Kota Bawah Tanah. Ditatapnya kereta berpenampilan mencolok itu selama sedetik sebelum melompat ke bawah.

Iova menengadahkan kepala, memandangi jendela kamarnya yang berada di lantai dua apartemen. Setelah itu ia melirik stalaktit-stalaktit di langit-langit kota. Iova berbisik, "Doakan aku, Ayah."

Gadis itu pun berlari menelusuri jalanan yang lengang. []

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now