23. Iova dan Mata Super

530 125 1
                                    

Setelah memunguti bakul cucian yang terjatuh dari pegangannya, Iova berlari ke arah ruang tamu untuk mengintip kedatangan pamannya. Matanya membulat tak percaya melihat apa yang ditunjukkan penglihatannya. Kaki serta tangannya gemetaran. Apa yang dikatakan Naga benar, pamannya memang datang bersama dengan sesosok Penghuni Bumi.

Makhluk itu berbadan besar. Ototnya berbonggol-bonggol. Kepalanya menggunakan topi fedora berpita putih. Dari pakaiannya, sang Penghuni Bumi jelas-jelas seorang polisi--seragam cokelat tua yang sangat kontras dengan warna tanah. Sewaktu tersenyum, Penghuni Bumi itu memamerkan gigi-geliginya yang tidak beraturan. Air liur yang menetes dari sudut bibirnya menghilang di udara seperti uap.

Iova ingin berteriak agar kedua walinya tidak terlalu dekat dengan Penghuni Bumi itu. Lagi pula, dia adalah seorang pahlawan yang harus melindungi orang lain dari bahaya terutama keluarganya. Namun, Pernaish dan Megraia malah menyambut monster itu dengan penuh keramahan tuan rumah. Seakan-akan, makhluk itu hanyalah manusia biasa yang telah menjadi kawan lama mereka. Padahal dilihat dari sudut pandang manapun, sosok yang bahkan lebih tinggi dari pintu depan apartemen ini adalah monster  yang dapat dengan mudah membunuh siapa saja dengan sekali serang.

Apa ini semacam hipnotis? Alis Iova naik sebelah memikirkan kemungkinan tersebut.

"Iova? Kenapa berdiri di sana?" Mata Bibi Meg menyipit mendapati Iova yang mematung memperhatikan ketiga orang dewasa--atau dua orang dewasa dengan sesosok monster--tengah bercengkerama di ruang tamu. "Bukankah sudah kukatakan untuk cepat pergi dan cepat kembali?"

Iova berjengit. Dia benar-benar lupa kalau harus pergi ke binatu. Pemikirannya sudah terlanjur terkunci pada Penghuni Bumi yang sedang duduk di atas sofa sudut beberapa kaki di depannya. Sebagai seorang pahlawan, Iova harus mengatur strategi untuk melawan monster ini. Akan tetapi, pertama-tama mungkin dia mesti menyadarkan paman serta bibinya dari pengaruh sang monster.

Penghuni Bumi itu membuka mulut. Lidahnya yang bercabang bergerak-gerak sewaktu mengucapkan, "Cobalah untuk menjadi keponakan yang baik, Iova," dengan suara yang sangat dikenalnya.

Chasire Flitch? Iova mengernyitkan dahi memperhatikan monster yang sedang terkekeh di hadapannya. Gadis itu meneguk liur. Mungkinkah Penghuni Bumi memakan Chasire dan menyamar sebagai dia?

"Kalau begitu, aku akan membuat teh untuk kalian sebelum menyiapkan makan malam." Bibi Meg berdiri dari sofa. "Pern, sebaiknya kau mandi dulu. Pakaianmu berikan pada Iova untuk sekalian dicuci di binatu.

Pernaish melirik Bibi Meg dan Iova bergantian, kemudian mengangguk. "Chasire, kau bisa menggunakan TV kalau mau," kata pria itu sambil memperbaiki posisi kacamatanya. Dia beranjak ke dalam apartemen dengan cepat, bersamaan dengan menghilangnya Bibi Meg di balik dinding dapur.

Iova masih memegangi bakul cucian sewaktu Penghuni Bumi yang telah memakan Chasire Flitch bergerak masuk ke apartemen lebih jauh. Pandangannya tetap tertuju pada monster itu. Dia tak percaya bila kalau Chasire telah tiada. Padahal, polisi itu adalah sahabat paman dan bibinya sejak lama.

Bertahun-tahun mengenal pria jomblo sejati tersebut, membuat perasaan Iova membuncah. Dia sangat sedih. Hal itu membuat matanya berair. Kenapa Penghuni Bumi ini sangat tega menghilangkan pria sebaik itu dan menyamar sebagai mangsanya? Iova bahkan belum menebus kesalahannya pada Chasire karena terlalu seringnya berkunjung di kantor polisi.

Iova bertemu Chasire minggu lalu. Siapa sangka itu menjadi waktu terakhir mereka?

"Ada apa, Iova? Kenapa kau memperhatikanku sampai menangis?" Penghuni Bumi itu bertanya. Suaranya yang teramat mirip Chasire membuat Iova ingin melakukan sesuatu padanya.

Gadis itu menggeleng kuat-kuat. Hidungnya menyedot ingus yang hampir keluar. "To-to-topimu ba-bagus, Chasire." Iova berkata basa-basi dan tersenyum paksa. "Aku menangis karena ada debu di mataku.

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now