12. Dae dan Dugaan Langit

1K 161 20
                                    

Kelopak mata Dae seperti direkatkan lem, sulit untuk terbuka sekalipun ia tidak berkeinginan untuk kembali tidur. Padahal, Dae sudah bangun sejak kira-kira lima menit yang lalu. Akan tetapi, yang mampu ia lakukan hanya mendengar dan bernapas. Kulit Dae mati rasa, seolah di sekelilingnya hanya ada udara.

Apa aku sudah mati? Dae mulai bertanya-tanya dalam hati, mengira-ngira apa yang tengah terjadi. Namun, saat suara sekelompok wanita mulai terdengar, Dae mencoba untuk menyimak.

Wanita-wanita itu berbicara dalam bahasa asing. Dae sangat yakin kalau bahasa itu bukanlah salah satu dari lima bahasa yang selamat dari bencana besar. Lagi pula, di sekolah Dae ada ekstrakurikuler bahasa. Akhirnya, mau tidak mau Dae menguasai keempat bahasa lain walau secara pasif.

Apa ini bahasa yang telah punah? Bagaimana mereka bisa tahu bahasa itu? Jangan-jangan mereka orang-orang yang selamat dari musim dingin dengan cara lain?

Kepala Dae dipenuhi terlalu banyak pertanyaan dan pertimbangan. Dia penasaran, tetapi terlalu takut untuk bertindak. Matanya mulai gatal ketika cahaya yang menerpa kelopak matanya semakin banyak seiring dengan mendekatnya para wanita itu. Dae benar-benar ingin membuka mata. Sayang imajinasi menguasainya kembali.

Bagaimana kalau wanita-wanita itu monster buruk rupa? Tentu tidak menutup kemungkinan. Lagi pula, Dae tidak pernah merasa akan menemukan sesuatu yang indah ketika sudah melanggar ketentuan. Aturan tidak tertulis lebih tepatnya, yang konsekuensinya bisa jadi jauh lebih besar daripada aturan tertulis.

Kota Yuza pasti punya hukuman tersendiri bagi para pelanggar. Seperti orang-orang yang tidak kembali atau mereka yang terkena amnesia karena pergi di saat jam malam. Bagaimana cara Dae kembali ke rumah? Benarkah ia tak akan bertemu ibu dan kakak perempuannya lagi? Apa ia bernasib sama dengan ayahnya?

Sekarang ibunya sendirian di rumah. Tak ada lagi anggota keluarga di sebelahnya. Bisa saja sekarang para tetangga sedang berkumpul di kediaman keluarga Kincaid untuk berkabung. Pemakaman tanpa jenazah pun mungkin sudah dilakukan. Sekarang, Dae punya nisan bertuliskan namanya di umur 15 tahun. Menyedihkan.

Perut Dae bergetar ketika hidungnya mencium aroma kayu manis. Dae menyukai bau itu, mengingatkan pada sang ibu yang senantiasa membuatkan dia keik dengan campuran bubuk kayu manis. Hebatnya, nafsu untuk makan itu memberi Dae sedikit harapan.

Aku masih hidup! Dae bersorak dalam benaknya. Akan tetapi, dengan cara apa agar bisa lolos dari situasi ini? Kembali pikiran Dae dikuasai pertimbangan. Mana tahu tubuhnya memang tengah melayang sehingga ia tidak dapat merasakan apa-apa pada kulitnya. Itu berarti dia tak akan bisa bergerak.

Ada terlalu banyak kemungkinan. Dia dibuat bingung oleh nalarnya. Dae khawatir saat ia berhasil membuka mata ternyata salah satu dari sekian ratus khayalannya benar-benar terjadi. Toh, Dae paranoid untuk memikirkan hal-hal baik. Padahal Eunah selalu bilang bahwa perkataan adalah doa. Ah, andai Eunah ada di sini. Dia pasti telah melakukan sesuatu sedari tadi.

Dae merindukan Eunah, tetapi bagaimana cara untuk bertemu lagi dengannya?

Sekian menit berkutat dengan isi kepalanya, Dae akhirnya menyerah. Dia pasrah. Bila ini memang ajalnya, setidaknya dia tidak ingin berdebat dengan dirinya sendiri. Jadi, Dae memasang telinga guna mempertajam pendengaran. Siapa tahu dia mendapat keajaiban dari otak kecilnya.

Tiba-tiba, sesuatu terasa membelai dagunya dan naik hingga ke kening. Tidak tersentuh secara langsung, tetapi Dae merasakan udara di sekitar wajahnya bergejolak dan membuat matanya terbuka dengan sendirinya.

Dae terkejut. Dia bersumpah tidak punya kemauan untuk melakukan itu. Lagi pula, Dae tidak punya cukup keberanian untuk menghadapi kematiannya sendiri. Kecuali kematiannya memang akan di akhiri oleh sesuatu yang indah. Mungkin banyak orang yang akan berpikir dua kali.

Another Way to Destroy The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang