5. C&P

26.8K 1.3K 34
                                    

Sampai di rumah tau-taunya sudah malam. Aku bergegas naik ke lantai dua tempat di mana letak kamarku berada.

Rumahku lumayan besar. Dapat di kata satu rumah muat dihuni untuk dua keluarga, apalagi di rumah ini aku hanya tinggal berdua dengan bunda. Bahkan ada ruang yang tidak pernah kubersihkan, aku hanya membersihkan ruang yang sering dipakai saja, sementara ruang yang jarang di pakai. Aku tidak mau repot-repot.

Menghidupi lampu kamar, melempar tas ke sembarang arah, mengambil handuk, lalu menuju ke kamar mandi. Badan sudah dari tadi terasa lengket, setelah selesai mandi tubuh kembali segar bugar. Aku berjalan ke lemari pakaian mengambil dan memakai baju piyama Mustache berwarna biru pastel.

Kudengar handphone yang belum kukeluarkan dari tas bergetar berkali-kali. Aku tidak menghiraunya. Palingan grup kelas yang berkoar Gaje.

Merasa perut keroncongan. Aku bergegas turun menuju dapur. Di rumah tidak ada siapa-siapa. Bunda yang bekerja sebagai Jurnalisme, kadang jasanya juga digunakan sebagai Editor. Uuh, Bundaku memang hebat! Enggak kayak anaknya Ogeb.

Setiap hari Bunda pulang jam sepuluh malam. Alhasil, aku selalu sendiri. Bunda sering menitipku kepada tetangga sebelah. Aku sih mau-mau saja dititipin, tapi mengingat bocah kembaran punya anak tetangga sebelah yang Subhanallah bandel. Ku memilih di rumah saja.

Diriku yang tidak jago memasak, memilih yang praktis-praktis. Kubuka lemari gantung, mengambil mie instant cup. Ku sobek lapisan plastik bagian atasnya sekalian dengan bumbunya, lalu kuseduh dengan air panas dari dispenser. Mie instan siap disajikan.

Kulahap sambil kadang-kadang memejam. Betapa nikmatnya. Sudah murah, enak, cepat siap, mengenyangkan pula, tapi sayang tidak baik bagi kesehatan. Bodo amat, ah. Yang penting bisa mengganjal perut.

Selesai mengisi perut. Aku menonton televisi sampai lupa waktu. Mama sudah pulang, aku masih saja menonton. Merasa malam begitu larut. Kuputuskan untuk tidur.

Di kamar teringat handphone yang belum kupegang. Kubuka tas, lalu mengambil Hpnya. Terkejut melihat tujuh puluh tiga panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Tidak berniat menelpon balik karna aku tidak nyaman berkomunikasi melalui telepon, aku lebih nyaman melalui perpesanan. Ingin kukirim pesan menanyakan siapa ini?, tetapi mengingat  sudah tengah malam, aku pun tidak mengirimnya.

***

Dengan langkah tenang, memasuki kelas. Kulihat sudah banyak yang berdatangan, termasuk Celia.

"Najwa... Sini-sini," panggil Celia, heboh. Seperti ada hal penting yang akan disampainya.

Buru-buru aku menghampirinya. "Ada apa?"

"Ngak ada apa-apa, kok." Celia menyengir, memamerkan gigi ratanya.

"Kebiasaan," cibirku menaruh tas  diiringi menduduki diri di bangku.

"Kemaren lo pulang pake apa?" tanya Celia.

"Pake motor. Kan, pulangnya sama Adam."

"Haa, kok bisa?" tukas Celia memekik.

Aku menoleh cepat. "Loh, bukannya kamu yang nyuruh Adam jemput aku?"

"Enggak." Celia menggeleng. "Maunya sih gitu, tapi keingat dia lagi buru-buru, ngak jadi gue nyuruhnya."

"Tapi serius, aku pulangnya sama Adam."

Cuek & PendiamDär berättelser lever. Upptäck nu