52. C&P

10.6K 630 89
                                    

Aku memberontak tidak ingin di jemput, dan hasilnya memang tidak di jemput.

Selama dalam perjalanan. Otakku dipenuhi banyak pikiran. Perut rasanya mual, menelan ludah saja membuat lambung perih. Saking gugupnya, bahkan tak sengaja menaikkan nada saat Bunda mengajak bicara.

"Duh, ngak tau ... Jangan ajak ngomong dulu."

"Kamu ini kenapa, sih kayak mau ketemu mertua aja."

Tambahi 'calon' dan perkataan Bunda tepat sasaran.

Lho, kenapa ada Bunda?
Kenapa aku ajak Bunda?
Sedangkan emakku tidak tau apa-apa.

Yah, memang tak kukasih tau.

Kini tujuanku dan Bunda menuju gedung Wisma Graha. Tempat yang sedang digelari pesta meriah yang dihadiri para pejabat, tetapi boleh dimasuki kaum menengah.

Kehadiran Bunda, bukan aku yang mengajaknya. Sebelum mendapat undangan dari Roy. Kami berdua sudah lebih dulu mendapat izin menginjak kaki di tempat ini. Langsung dari Ayahku.

Lho, kok bisa?

Bisa ... Karena Ayahku bertujuan mempersilaturahim keluarga barunya dengan kami.

Dapat di bayangkan bagaimana paniknya bertemu dua keluarga yang sama-sama penting dalam hidupku.

Huwaa ... Andai bisa, aku ingin meminjami jantung untuk mewanti-wanti.

***
 

Jujur, aku lebih antusias memenuhi undangan Roy daripada Ayah. Walau sama-sama penting. Perasaan rada malas bertemu ibu tiri, selebihnya gara-gara dia orang tuaku bercerai. Dari sini kelihatan sikapku masih anak-anak, dan egois.

Okee, aku tidak akan memprioritas ego. Alhasil, aku memilih undangan yang lebih dulu sampai, menemui keluarga baru Ayah.

Suasana di Wisma Graha sangat amazing sulit kuuangkap lewat kata-kata. Bukan apa-apa, hanya saja kedatanganku kamari memiliki maksud penting. Walhasil interior di sini tak lagi kuhiraukan, semua terasa biasa saja, padahal intinya di sini tidak ada yang memakai kemeja apalagi kaos oblong.

Sesaat aku merasa jadi orang kaya.

Bunda menyikutku sembari menunjuk ke sebuah arah. "Ada apa?" Melihat arah yang di tujunya.

Jantungku berpacu tinggi, namun masih bisa di atasi. Keluarga baru siap menanti kehadiran kami.

Aku tidak tau harus bersikap bagaimana. Sedangkan Bunda begitu lihai membaurkan diri seolah sudah lama mengenal atau seperti melayani pelanggan setia sebuah toko.

"Ini siapa? Najwa, ya?"

Ow, suara ibu tiri cukup ramah, membuatku tak tahan melontar senyum.

"Iya," balasku rada kikuk. Tangan putihnya merangkulku dengan hangat. Aku dapat melihatnya dari jarak yang cukup dekat.

Cantik, kulitnya putih, postur tubuhnya tinggi. Tapi ada yang lebih cantik darinya. Dia Bundaku.

Hm, ngak ada yang bisa nandingi bunda. Dia perempuan paling cantik, paling mandiri, paling spesial di dunia.

"Kamu lebih cantik dari dugaanku," tambahnya melebih-lebih.

"Makasih." Aku tersenyum tipis. Padahal belum juga kenalan, ini orang ngomongnya udah kemana-mana.

"Kamu bisa panggil saya Diana!" ujarnya sembari menyentuh dada.

Diana!

Tante Diana gitu ... Ya kali panggil Diana tok, terkesan ngak ada akhlak aku.

Cuek & PendiamWhere stories live. Discover now