13. C&P

19.8K 1K 17
                                    

Kuridor yang akan menuju ke kelasku terasa panjang dan tak kunjung-kunjung sampai.

Terjadi karena sepanjang aku berjalan, tidak sedikit murid yang membicarakanku dengan berbisikan. Sebagian pembicaraan mereka ada yang hinggap terdengar sampai ke telingaku.


Ternyata, kejadian di kantin dan pembolosan kemarin tersebar luas hari ini.

Tak heran, semenjak berpacaran dengan Roy, hal sekecil apapun yang kulakukan akan tersebar dengan sekejap mata. Bahkan sampai terdengar ke sekolah tetangga, yang tak lain sekolah Adam.

Semalam, aku memang sudah menduga hal begini akan terjadi.

Andai aku tidak mengingat jerit payahnya Bunda, sudah pasti hari ini tidak akan masuk sekolah.

Lebih-lebihnya lagi di jam terakhir ada jam mengajarnya Roy.

Jelas, Aku tidak ingin bertemu dengan lelaki bunglon itu!!






***




"Kemarin aku sakit, Cel. Makanya pulang!" lontarku, menjawab pertanyaan Celia.

Sekarang aku sudah sampai di kelas dan duduk di bangku sendiri.

"Beneran, nih!? Loe pulang bukan karna kejadian di kantin sebelah, kan?!"

Aku terdiam, tanpa tau harus menjawab apa! Rupanya kejadian itu sudah sampai di telinga Celia.

"Udah, ya. Mulai sekarang loe nggak usah berhubungan lagi dengan Roy. Apalagi sampe harus bergabung dengan mereka."

"Hmm, memang udah berniat gitu, Cel, tapi..."

"Tapi apa?" tutur Celia, mendapati perkataanku terhenti. Aku menghela napas panjang.

Melihat aku terdiam. Celia menambah, "Trus, tadi malam gue ke rumah napa nggak ada orang?"

Alisku berkerut. "Ke rumah kok nggak bilang-bilang." Aku mengubah posisi duduk dari menyamping ke menghadap dengannya, "kamu perginya kapan?"

"Sekitar jam tujuh gitu ... Gue telvon, Hp loe sibuk terus. Loe ke mana, sih?"

Tanganku menggaruki tengkuk yang memang ingin digaruki. "Emm ... Waktu sore, aku ke bandara. pulangnya sama Indri sekitar setengah sepuluh gitu."

"Ngapain ke bandara?"

"Antar Bunda keluar kota. Katanya, sih ada pekerjaan yang mau diurusnya."

"Loh, napa nggak bilangin gue?" Suara Celia sedikit meninggi.

Aku yang awalnya melihat ke depan, kini beralih melihatnya. "Lah, emang mesti aku bilangin, ya?"

"Ya mesti lah. Indri aja tau, masa gue nggak. Sekarang teman loe Indri apa gue?"

Aku menegakkan badan. "Kamu kok gitu, sih!? Kamu marah?"

Dikarenakan suara Celia yang mungkin terbilang tinggi, si pemilik nama menghampiri tempat kami.

"Gue merasa terpanggil," tukas Indri, mendudukkan diri di atas meja. Lalu, melihat dua manusia di depannya. "Apa-apaan nih muka. kusut amat!" tunjuknya.

"Ceritanya lagi marahan!" sungut Celia.

"Ooo gitu ... Terus apa hubungannya dengan nyebut-nyebut nama gue?"

"Ecek-eceknya loe salah satu penyebabnya!" sungut Celia lagi.

Indri mengernyit. "Kagak paham gue. Kalian mah, kalau marah. Marah aja, nggak usah bawa-bawa nama gue."

Cuek & PendiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang