54. Epilog

22.4K 946 139
                                    

Dua tubuh manusia berlainan jenis sedang duduk membelakangi jalan yang tak luput dilalu-lalang kendaraan.

Kupikir dia ogah-ogahan menemaniku. Nyatanya dia cukup lahap makan di tempat ini.

Kerjaanku menelisik dari samping. Dia sedang meniup kuah bakso yang telah disendoki, asap mengepul di atasnya.

Terkekeh kecil melihat dia menyeruput kuah. Menusuk bakso pakai garpu, kemudian melahapnya. Mataku beralih menghitung berapa kali rahangnya naik-turun akibat mengunyah.

"Enak, kan makan pinggir jalan?" godaku mengganggu.

Dia menoleh, melihat isi mangkukku. "Masih malu, ya?" tanyanya tanpa menjawab.

"Hm?" dehemku butuh penjelasan.

"Kerjaan cewek ... Di ajak makan, ngak pernah abis."

Alisku terangkat. "Cewek suka ngak habis emang beneran ngak abis, lho." Aku meralat.

"Bukan jaim?"

"Ngapain? Sok tau, ah. Emangnya kamu cewek ... Aku bakal abisin, kok. Lagi lapar juga."

Tak berminat respon. Dia melanjuti makan. Dan aku, tentu kembali menelisik lekuk wajahnya.

"Makan! Jangan diliatin doang." serunya dengan tangan melilit mie pada garpu.

Sebelah tanganku menopang dagu. "Makan yang lagi diliatin maksudnya?"

Dikarenakan ucapanku kurang ngeh. Roy lagi-lagi menoleh. Mata kami saling bertabrakan.

"Mulai nakal...." Roy menatap lamat, menjurus sampai ke akar-akar.

Sadar akan tatapan asingnya. Tubuhku tersentak, lupa telah berkata apa.

"Aku anak baik, kok. "Kalang-kabut sendiri, mengaduk-aduk isi mangkuk hingga hal yang mengganjal aku utarakan.

"Aku lagi ngak enak pikiran." Logat putus asa.

"Kenapa? Baksonya kebanyakan micin?" logat santuy.

"Aku serius!"

Melihat wajahku memerah... "Iya sayang, maaf." Sembari mengelus rambutku sekali.

"Ujian semister satu makin dekat aja." Kepalaku merunduk.

"Ngak usah bawa pikiran ... Tanya aja kalo ada soal sulit."

"Bukan masalah ujiannya ... Masalahnya ada di kamu, lho Roy." Tanganku mengepal, meremas sendok kuat-kuat.

"Oh, aku? Kenapa? Perasaan baik-baik aja."

"Kamu, kan kelas tiga," ujarku pelan.

Menjeda sejenak. "Aku ngerti sekarang!" Roy memutarkan badan sepenuhnya ke arahku.

"Habis lulus. Bisa ngak, kamu kuliah di sini aja? Tahun depan pindah sana ... Kan, bisa barengan aku." Setelah berucap, rasanya pengen mewek.

Tangannya menggenggam kedua telapakku. Senyumnya kala itu amat lah tulus. "Jangan dulu dipikirin!" Menyentuh puncak kepalaku. "Kamu harus rajin belajar!"

Menarik napas sekali, lalu berusaha antusias. "Iyak. Pokoknya aku harus rajin ... Biar bisa nyusul kamu secepatnya." Sembari mengepal tinju.

"Nah, gitu dong. Yang semangat!" Dia mengacak-acak rambutku.

"Haa, pen nangis!" Itu bukan suaraku.

"Nanti aja! Malu, ah di sini." Menyadari akan sesuatu. Batinku terngungu. "Jantan ngak boleh nangis! Entar dibilang cemen."

"Motor aja punya hati. Apalagi jantan.''

"Alhamdulillah Royku sekarang punya hati."

Terkekeh pelan bersama, tetiba dihadiri pengganggu julid.

Cuek & PendiamWhere stories live. Discover now