7. C&P

25.5K 1.3K 95
                                    

"Pokoknya nggak mau. Nggak mau!"

"Diam!" seru Roy. Aku terdiam beberapa saat.

Tersadar akan kepalaku dimana. Hidungku dengan sendirinya mengendus. Roy wangi, wanginya seakan penawar yang dapat menyembuhkan kepala pusingku tadi. Seperti minyak angin saja, bukan berarti wanginya seperti minyak angin, entah wangi apa ini! Yang pasti penciumanku betah.

Aku memperhatikan Roy dari samping. Tidak menyangka bisa melihatnya sedekat ini---Roy ganteng---ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Matanya elang, tulang pipinya tegas, lehernya jenjang dan jakun... Mataku terhenti pada jakunnya.

Demi apa!! Itu jakunnya membuat waktuku terhenti. Aaah, aku menjerit tertahan. kuyakin Roy mendengarnya, hanya saja dia acuh sambil terus berjalan.

Jangan tanya, kenapa aku tertarik dengan jakunnya! Itu mempesona, apalagi saat dia menelan salivanya, membuat kelenjar tiroidnya naik turun. Uuh, Bibirku tersenyum-senyum canggung melihatnya, buyar seketika, kala mendengar suara teriakan cewek nan manja memanggil.

"Roy!"

Aku memutar kepala melihat tiga cewek yang sering bergabung dengan gank Roy berdiri di ujung lorong.

Perasaanku tidak enak!

Aku mulai risih, kaki dan tanganku kembali terayun-ayunkan. Siapa gerangan cewek itu? Apa hubungannya dengan Roy?

Melihat gelagatku yang tak karuan. Roy menarik kepalaku, menenggelamkan di atas bahunya. Aku sedikit terkejut, mungkin karena kepalaku menghalangi penglihatan Roy saat ini.

"Anak siapa itu loe bawa- bawa?" tanya cewek itu bernada tak suka.

"Bilang sama yang lain. Hari ini gue nggak ikut!" jawab Roy berkebalikan dengan pertanyaannya.

"Loh, kenapa? Loe, kan sudah janji."

Tanpa menyahut, Roy terus berjalan mengacangi cewek itu.

"Loe harus ikut, Roy. Kalau nggak, gue juga nggak ikut."

Roy tetap diam. Dengan kepalaku masih terbenam di atas bahunya, aku mendengar jelas umpatan dan serapah kesal cewek itu.

Tadinya, aku sempat berpikir yang tidak-tidak.

Jujur. Aku senang sekali melihat Roy mengacuhi cewek itu. Pastinya sekarang aku sedang menyombongkan diri juga membanggakan diri. Tak lain, karena aku sangat tidak percaya bisa berada dalam pangkuan Roy. Dia wangi sekali,  tidak berniat mengangkat kepalaku barang sedetik pun. Ingin berada di sini lebih lama lagi. Kuterbuai olehnya.

Tidak tau maksud Roy dari semua ini? Apa yang akan dia lakukan nantinya? aku tidak perduli. Yang nanti biarlah nanti di pikirkan.

Suara gaduh yang menyebar tadi, tidak terdengar lagi. Suasana disini sunyi, hanya terdengar derap langkah kaki Roy yang menapak. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti, ingin mengetahui, kenapa Roy mendadak berhenti, tapi rasanya berat untuk mengangkat kepala ini.

Dagu Roy menyentuh kepalaku, pertanda dia menoleh ke samping. Akhirnya mau tak mau, aku menegak, hingga mata elangnya beradu denganku. Aku mengalihkan pandang ke bawah. Menatapnya dari jauh saja dapat membuatku gugup, apalagi sedekat ini.

"Kenapa diam?" tanya Roy, datar.

Aku menoleh. Tadi suruh diam, batinku.

"Turunkan aku!" ucapku akhirnya. Dia mengangkat sebelah alisnya dan kembali berjalan.

"Turunkan aku!" suruhku sedikit keras dengan menekan bahunya.

"Buat apa?"

"Kok buat apa! Ya, turunkan aku."

Cuek & PendiamWhere stories live. Discover now