DEONTARA| [3. Tangan Kanan]

192 37 3
                                    

Akhirnya bisa kembali update setelah hampir dua mingguan lebih .

Jangan lupa vote dan komen di part ini.

3. Tangan Kanan

Bunyi suara gelas pecah terdengar begitu nyaring dari lantai atas. Dengan perasaan khawatir, Dara langsung berlari menghampiri tempat dimana suara itu berada.

Dara terkejut saat melihat lengan pak Deo bercucuran darah. Dengan pelan Dara berjalan pelan menghampiri pria itu yang saat ini menatap nanar lengannya.

"Bapak tidak apa?" Tanya Dara khawatir.

Kepalanya langsung menoleh menatap tajam ke arah gadis yang saat ini sedang menatapnya penuh ketakutan.

"Maafin saya pak! Seandainya tadi bapak tak menolong saya... Pasti lengan bapak nggak akan seperti ini," lirihnya mendekat seraya memegang lengan Deo yang berdarah.

"Seharusnya begitu!" Tatap tajam Deo menyiratkan raut penyesalan di wajahnya."Seharusnya tadi saya membiarkan mu bersama pria itu."

Tubuh Dara bergetar hebat saat kedua telinganya mendengar suara dingin yang sangat menakutkan. Ia merasa saat ini sedang di kulit habis oleh pria yang tadi menyelamatkan hidupnya dari pria bringas tak di kenalnya.

Seharusnya bukan ucapan terima kasih saja yang di berikan kepada seorang pria yang telah berjasa terhadapnya hidupnya tadi, tetapi ia bingung apa yang harus di berikan kepada pak Deo supaya apa yang di lakukan pria itu terasa impas tanpa ada rasa bela kasihan di antara mereka berdua.

"Jangan pegang-pegang!"

Dara kembali menatap teduh wajah Deo yang berpaling darinya."Bagaimana saya tak memegang lengan bapak yang berdarah seperti ini," bukanya berhenti, Dara malah menyingsingkan lengan kemeja sedikit ke atas."Luka bapak butuh perawatan."

Gadis itu berlalu mendekat ke arah meja yang berisi berbagai macam jenis pengobatan yang berada di dekat ruang kerja.

Dara tersenyum, ia mendaratkan tubuhnya untuk duduk di kursi dekat Deo berdiri."Saya janji akan merawat luka ini hingga sembuh... Bagi saya, ini adalah tanggung jawab saya karena luka ini terjadi karena bapak menolong saya," ungkapnya melirik sekilas ke arah wajah datar tak berekspresi itu, meski ada beberapa rintihan tertahan yang sedang di tahan sekuat tenaga supaya tak sampai terdengar hingga ke telinganya.

Dara tersenyum kecil dan lebih memilih tak tahu apa yang sedang terjadi. Pura-pura fokus ke arah perawatan luka adalah cara terbaik baginya untuk menghindari tatapan yang sangat mematikan itu.

"Baguslah! Kalau kamu sadar tanpa permintaan saya," Dara langsung mendongak hingga tatap mereka berdua kembali bertemu entah untuk ke berapa kalinya.

Baginya, mata tajam dengan bulu lentik itu bukanlah hal asing baginya. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapan ini. Tetapi, Dara tak mengerti dengan semua ini. Alam bawah sadarnya mengatakan bahwa seolah-olah, tatapan itu dulu sering terjadi di kehidupannya. Tetapi kapan?

"Memang ini sudah menjadi kewajiban kamu setelah apa yang ku lakukan terhadap mu, padahal apa yang kamu lakukan tak sebanding dengan perjuanganku menolong mu dari pria itu, hingga lengan ku lah sebagai taruhannya," sebelah alisnya sedikit tertarik ke atas. Saat itu juga Dara tersadar dari lamunannya, lagi-lagi dia di buat terbelenggu dengan keadaan ini.

Hanya mengangguk sebagai jawaban termudah baginya. Karena tak ada cara lain selain melakukan tanggung jawab ini dengan merawat luka ini hingga sembuh."Baik! Saya akan melakukan apapun yang bapak inginkan, yang terpenting di antara kita berdua tak ada lagi rasa berhutang Budi karena masalah ini," jelasnya di buat sesantai mungkin."Yang penting dengan apa yang saya lakukan semua akan terbayar lunas."

"Dengan menjadi tangan kanan saya selama luka ini belum sembuh menjadi ide bagus, karena saya tak akan melewatkan semua pekerjaan tak terkecuali," tukasnya menatap Dara untuk memastikan."Kamu juga harus tahu betapa pentingnya pekerjaan di dalam hidup ku untuk bisa menjadi seperti ini."

***

Pintu rumah terbuka dengan keras, hingga menampilkan Dara dengan wajah bingungnya. Penampilan gadis itu terlihat sangat memprihatinkan pagi ini dengan rambut acak-acakan, mata panda tercetak jelas di bawah kelopak matanya.

"Ini sudah jam berapa?" Tegas Deo menatap ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Maaf pak? Saya bangun kesiangan setelah semalam bingung mencari tempat kosan baru untuk tempat tinggal baru saya," balasnya lirih tak berani menatap Deo yang sudah berpakaian rapi.

"Saya tunggu lima menit! Ku harap kamu bisa memaksimalkan waktu yang telah ku berikan padamu untuk bersiap serapi mungkin," ucapnya berlalu pergi meninggalkan Dara yang terdiam di tempat.

"Mbak?"

Dara langsung mendongak dan mendapati asisten pribadi pak Deo yang saat ini tersenyum menatapnya.

"Ini saya membawa beberapa pakaian pesanan pak Deo yang katanya untuk mbak menemani pak Deo di kantor nanti," ucapnya menyerahkan dua paper bag ke arah Dara yang masih belum bisa menetralkan rasa terkejutnya."Semua pakaian itu sesuai perintah pak Deo, ku rasa selera beliau kepada pakaian mbak sangat luar biasa, dari cara memilihkan pakaian yang sangat layak dan sopan untuk mbak.. padahal, baru kali ini pak Deo bersikap sebaik ini dengan orang yang baru di kenalnya," tukasnya lalu pamit pergi ke depan untuk menemani pak Deo di ruang santai dekat parkiran.

Dara langsung pergi ke ruang ganti untuk mengganti pakaian, baginya waktu lima menit itu bukan waktu yang banyak. Apalagi saat ini wajahnya masih belum terpoles make  up apapun, tetapi dengan cekatan Dara sedikit memberikan beberapa polesan di wajahnya karena tak ingin membuat pak Deo malu di kantor dengan tampilannya yang terlihat sangat memprihatinkan.

"Lama amat sih? Gak tau apa, pagi ini ada pertemuan dengan klien."

Terdengar suara kesal dari pak Deo yang tatap wajahnya selalu menatap ke arah arloji di pergelangan tangannya.

"Maaf pak sudah menunggu lama?" Gumamnya lirih menunduk ke bahwa melihat sepatu pantofel yang di kenakan pagi ini sebagai alas kakinya.

Deo terdiam sesaat saat melihat penampilan Dara yang terlihat tampak natural tetapi masih memperlihatkan wajah cantiknya. Dengan pelan Deo menggelengkan kepalanya pelan untuk membuang semua perasaan yang datang tiba-tiba itu."Cepetan masuk ke dalam mobil, waktu kita hanya tinggal 20 menit untuk sampai di kantor," ujarnya melangkah memasuki mobil yang sudah di persiapkan oleh supir pribadinya.

Di dalam mobil, Dara terdiam di samping pak Deo. Ingin sekali dia mengutarakan sesuatu yang sejak tadi memenuhi pikirannya, tetapi ada rasa takut dengan kemarahan pria itu.

"Pak?" Panggil Dara melirik ke arah pak Deo yang saat ini terlihat fokus membaca berkas  di pangkuannya.

"Iya."

"Nanti siang... Saya ada keperluan penting di sanggar tari untuk melatih rekan kerja saya karena beberapa hari lagi ada pertunjukan penting di pentas tari ibu kota," ungkapnya dengan keberanian menatap wajah pak Deo dari samping.

"Maaf, saya nggak bisa janji! Karena tugas kamu lebih dari itu, apa yang saya lakukan kamu selalu ada di samping saya, bagaimanapun itu adalah tugasmu yang menjadi tahan kanan saya."

Jangan lupa vote dan komen.

DEORANTAWhere stories live. Discover now