[BTC-01]

16.4K 1.4K 961
                                    

Hatalla.


"There are only terrible people in the world, and they are extremely bad. That is the reality we live in today. Accept the facts."

Wow, what kind of opening was that? Doesn't it sound like noir?

Salah genre bukan, sih? Oke, kita coba yang lain.

"Semua orang tahu, kok." Only those who don't want to know will ever find out. "Tapi, nggak semua orang mau hidup seperti itu."

Okay, this is pretty entertaining!

Let us try this one out and see how fun it is.

Kalau keadaan berubah memanas, mungkin gue pada akhirnya bisa merelakan waktu cuti gue yang terbuang sia-sia untuk datang ke tempat ini. Toh, tontonan di sini jauh lebih menarik daripada menonton rugby match yang bisa gue tonton siaran ulangnya nanti malam.

"I sometimes wonder where your foolish ideas come from."

Suasana di dalam ruang tengah mendadak berubah tegang, semua orang seperti dibuat lupa kalau mereka juga butuh oksigen dilihat dari beberapa dari mereka yang tengah menahan napasnya sekarang.

Isn't this an intriguing show? Why are people so stressed?

"Lihat lingkungan semacam apa kamu hidup, tinggal, dan besar sampai sekarang. Is it still difficult for your brain to comprehend something so simple?" This is the first punch, and it hasn't hurt yet. "Kamu ada di sini—duduk di sini—di hadapan Mbah Kakung—juga karena usaha dari tetua-tetua yang kamu bilang kerja kotor itu, Ervin."

That was the cleanest and hardest punch that changed the game and knocked Ervin out.

Oh... Wajah pucat Ervin juga jadi hiburan tersendiri buat gue, kegugupan salah satu sepupu gue di depan Mbah Kakung sekarang bisa gue bilang lebih memuaskan daripada melihat drop goal yang tercetak di rugby match hari ini!

Sumpah, Vin, muka lo bloon banget!

"Sampai kapan kamu mau hidup dengan pemikiran senaif itu, Vin, sementara orang lain di sekitarmu sudah sibuk mengerjakan ini-itu dan kamu yang ketakutan cuma bisa diam di tempat?" Suara Mbah Kakung membuat kami—yang diundang untuk acara makan siang dadakan ini—mengarahkan pandangan ke arahnya lagi. "Kalau kamu mau hidup sebersih dan setenang apa yang kamu pikirkan, mati aja, Vin," lanjut Mbah Kakung.

Jangan ketawa, La...

Jangan ketawa...

Gue melipat bibir, bahkan menutup bibir gue dengan salah satu tangan waktu gue kelepasan dan mendapatkan tatapan tajam dari nyokap-bokap.

"Win-win solution." Untungnya, Mbah Kakung kembali bicara, menarik perhatian semua orang di ruang tengah dari gue. "Kamu dapat tenang yang kamu mau, kamu bisa mati secara 'bersih', sementara Mbah Kakung sama yang lain juga bisa tenang karena seenggaknya satu beban keluarga berkurang."

Udah tau gue lagi susah nahan ketawa, si Ervin malah melirik ke arah gue. I could see he was regretting his decision to start the conversation this afternoon. Lagian, dia kenapa sok berulah waktu tahu kalau dia ada di posisi yang nggak semestinya? Ibarat, nih, Ervin kalau bisa nahan napas, seharusnya dia menahannya seharian ini di depan keluarga besar kami.

Suasana di ruang tengah berubah hening untuk beberapa detik, gue dan bokap sempat bertukar pandang—secara nggak langsung menyuruh satu sama lain untuk memulai obrolan yang tentu nggak akan gue lakukan. I appreciated this silence, a silence that caused others to stumble just because of a stinging statement that should have sparked someone's unsophisticated thinking here.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now