[BTC-36]

4.5K 896 212
                                    

Reni.

When was the last time Hatalla and I felt so awkward?

Mau diingat-ingat juga, kayaknya ini baru pertama kalinya kami merasa canggung seperti ini. Mungkin karena ini juga menjadi pertama kalinya aku dan Hatalla muncul berdua sebagai pasangan kekasih.

Sama sepertiku, Mbak Ririn juga nggak melepaskan perhatiannya dari Tyas, Dira, dan Dara yang masih terpaku diam menatapku—mereka benar-benar terlihat terkejut.

"Mereka masih napas, 'kan? Nggak pada ilang, kan?" bisik Hatalla yang masih bisa—bukan—maksudnya masih bisa kami—dengar ketika dia menatap ketiga wanita yang duduk bersebelahan di kursi seberang.

Mbak Ririn tertawa kecil, dia mengangguk—kali ini menatap Hatalla dan aku secara bergantian. "Terlalu shock kayaknya, tapi masih pada napas, kok, Pak."

Sebenarnya aku nggak berniat datang menemui mereka dengan cara seperti ini—bersama Hatalla, maksudku. Jadi, sudah dari beberapa minggu lalu kami memang sudah membuat janji untuk bertemu—menghabiskan waktu makan siang bersama—karena sahabat-sahabat Hatalla pulang ke Jakarta.

Aku mengiakan seperti biasa, toh, kami bertemu di hari Minggu di mana aku mendapat hari libur dari Pak Wijaya.

Nggak ada masalah.

Sampai tiba-tiba Hatalla bilang kalau dia mau mengantar sekaligus menemui teman-temanku. Karena perubahan hubungan kami dan juga janjiku yang bilang kalau aku akan merubah sikap dan cara pandangku soal hubungan kami, aku nggak punya pilihan selain mengiakan permintaan Hatalla.

"Memang mau sampai kapan disembunyikan lagi, 'kan? Toh, tahun depan rencana menikah kita juga udah jelas—semua orang sudah pasti tahu, termasuk teman-temanmu juga."

Apa yang dikatakan Hatalla memang masuk akal, tapi kalau mengingat pasangan yang aku sembunyikan itu adalah mantan atasanku sendiri—yang dulunya sering aku keluhkan di depan mereka—tentu semuanya berubah agak membingungkan, 'kan, ya?

Seperti sekarang ini contohnya.

Kecuali Mbak Ririn, aku dan Hatalla, semua orang yang ada di meja ini nggak memberikan reaksi apa-apa kecuali tatapan mereka yang terpaku ke arahku—membuatku bergerak gelisah, membuang tatapan ke sembarang arah sambil sesekali melirik ke arah mereka.

"Reni soalnya nggak cerita apa-apa, Pak." Mbak Ririn jadi satu-satunya yang memulai obrolan di antara kami. "Maksudnya, nggak bilang kalau Bapak juga ikut ke Amuz dan ikut makan siang sama kita," ucapnya dengan raut wajah geli.

I purposefully didn't say anything because I had been trying to suppress my worry on the way here.

Jadi, ya, begitu...

Hatalla langsung menoleh ke arahku, "Kamu nggak bilang ke mereka?" Aku menggeleng. "Reni mungkin lupa. Lagian, saya juga dadakan bilang mau ikutnya," terangnya, menyambung obrolan bersama Mbak Ririn—dia terdengar santai.

"Udah mulai go public, Pak?" Mbak Ririn sempat melirik genit ke arahku. "Soalnya, saya sering dengar selentingan dari Pak Narendra. Tapi, baru tahu ini—sekarang. Rada kaget dikit."

Sekarang, gantian aku yang menatap ke arah Hatalla yang menganggukan kepalanya. "Pelan-pelan, ke orang-orang terdekat kami berdua dulu aja," jawab Hatalla tampak tanpa beban. "Sama sekalian mau kenal dekat sama teman-temannya Reni juga," balasnya sambil menatap Tyas, Dira, dan Dara bergantian.

Ingin kenal dekat teman-temanku, ya?

Mungkin karena sebelum ini kami menyembunyikan semuanya dari orang lain, aku baru merasakan perasaan semacam ini ketika Hatalla mengaku kalau dia mau mengenal duniaku—lewat teman-temanku.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now