[BTC-27]

5.3K 1K 755
                                    

Hatalla. 





Gue rasanya beneran kayak ngawang...

I feel as if I'm in a dream, yet I recognize it's also real.

"Gimana, Pak Hatalla? Apa ada masukan untuk rencana kita ini? Mengingat kalau ini baru rencana 'kasarnya' saja, dan kami butuh banyak masukan dan kritik kalau memang ada."

Oke, gue tau lo kaget, La. Tapi, kerjaan harus tetap jalan. Lo harus tetap fokus, apalagi kita lagi meeting besar begini.

Tadi, kita lagi bahas apa?

Gue buru-buru melemparkan tatapan ke arah Ayah yang sayangnya sedang mengobrol dengan para direksi lainnya.

Kalau begini, sih, gue cuma punya satu cara.

Sok ngerti aja.

"Kita ikut planning awalnya dulu aja, ya. Kalau memang nanti di tengah prosesnya ada kendala, kita bicarakan nanti lagi," kata gue, menatap seluruh orang yang mengikuti meeting sore hari ini.

Untungnya jawaban sok bijak gue bisa diterima oleh semua orang, dilihat dari bagaimana mereka menganggukan kepala sambil tersenyum menatap gue—tepat sebelum Ayah menutup meeting kami.

Gue mengangguk sekilas, ikut melempar senyum ke beberapa direksi yang lebih dulu berjalan keluar dari ruang meeting saat gue menghampiri Ayah yang duduk di kursi paling ujung. "Ayah mau langsung balik?" tanya gue, menyalami tangannya.

Kerjaanmu lagi banyak banget?" tanya Ayah balik, nggak menjawab pertanyaan gue sebelumnya. "Tumben meeting nggak fokus? Ada masalah apa lagi, sih?" Ayah menatap gue dengan alisnya yang mengkerut, menunjukkan ketidaksukaannya atas sikap gue selama meeting tadi.

Nggak kaget juga, sih, kalau Ayah sampai tahu.

Gue malah lebih kaget waktu tau kalau orang-orang nggak ada yang sadar kalau gue nggak fokus waktu lagi meeting tadi, atau mereka mencoba memendamnya karena orang yang melamun di tengah meeting tadi itu gue, anak dari Bapak Wijaya Adiwangsa.

Tangan gue terulur menarik salah satu kursi dan mendudukkannya tepat berhadapan dengan Ayah. "Ya, masalah ini-itu," jawab gue sambil memijat sisi pelipis gue pelan.

Sumpah, kepala gue rasanya beneran pusing banget!

Kayaknya gue beneran kurang tidur gara-gara banyak pikiran dan banyak kerjaan. Schedule kerjaan gue kayaknya lebih padat dari Presiden, deh? Setelah pulang ke Sumbawa, gue langsung berangkat ke Semarang karena harus menghadiri seminar dari Kominfo, setelah itu gue balik ke Jakarta malamnya untuk datang ke acara ulang tahun Menkominfo—Pak Darwin, dan paginya gue harus datang ke kantor buat memimpin meeting divisi, dan sorenya gue ada di sini karena harus meeting soal rencana reklamasi di area penambangan ATU.

Kalau diingat-ingat lagi, gue belum punya waktu tidur yang proper dua hari ini apalagi setelah surprise yang dikasih Reni di malam terakhir kami di Sumbawa.

"Resign aja."

Enak banget orang lain kalau ngomong...

"Nggak, Yah." Gue menjawab dengan cepat. "Until now, I've been able to do both. I can still divide my focus into these two different jobs, and it's unfortunate if I have to give up one of them because I find that these two jobs can be helpful in the future. We don't know what will happen in the future, Yah."

Ayah menatap gue dengan matanya yang memicing, "Kamu ngedoain yang enggak-enggak ke ATU?" tanyanya dengan wajah super datar.

Salah paham, kok, terus?

Gue cuma diam, kepala gue bergerak menggeleng pelan—memberitahu Ayah kalau apa yang dipikirkannya jelas salah.

"Soal si Sahid gimana? Udah beres?" Ayah kembali bertanya dengan topik yang sama sekali nggak bisa meredakan pusing yang gue rasakan sekarang.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now