[BTC-31]

5K 928 559
                                    

Hatalla.





"Sebenernya, Ayah nggak mau membahas soal beginian sama kamu, La."

Mampus...

"Sama kayak yang Ayah bilang ke Ibu, semua hal yang berkaitan sama hubunganmu itu urusan kamu dan Reni. Nggak pantes, 'kan, sebenernya diomongin begini, La?" tanya Ayah yang berhasil membungkam gue sejak gue dipanggil ke ruangan Ayah setelah kami selesai meeting di kantor ATU sore tadi. "Tapi, kalau didiamkan, Ayah juga sama salahnya," katanya sambil menghela napas panjang.

I had expected this situation, in which Ayah and I would discuss what he had heard last night. Mau cepat atau lambat, sudah pasti Ayah akan membicarakan soal kejadian semalam meskipun gue juga tau dia bukan orang yang suka ikut campur soal beginian.

Dan apa yang gue dengar dari Ayah barusan membuat semuanya masuk akal. Perlahan, kepala gue mengangguk. Jujur, gue nggak kalah canggungnya duduk berhadapan dengan Ayah di ruangannya sekarang.

"Kamu mau gimana setelah ini?" Suara sahutan Ayah dengan konteks yang nggak begitu jelas membuat gue mengangkat kepala, menatap Ayah untuk pertama kalinya setelah gue masuk ke dalam ruangannya beberapa menit yang lalu. "Memangnya kamu sudah merasa mampu sampai kamu bisa seberani itu?" tanya Ayah lagi.

Maksudnya?

Was it because I was so awkward, I couldn't understand anything?

"Maaf, Yah. But I don't understand what you're saying right now." Daripada gue jawab ngawur padahal kami lagi ngobrol serius begini, ya, mending gue nanya balik, kan?

Bukannya menjawab, Ayah malah mengulas senyum tipis—yang mendadak bikin gue merinding—sambil menganggukan kepalanya. "I knew you would have a hard time understanding this kind of thing. You're only quick to grasp the—" Ayah nggak melanjutkan ucapannya, dia cuma menggelengkan kepala.

Nah, kalau ini gue paham.

Nggak perlu dilanjutkan, gue udah tau soal sindiran Ayah barusan nggak perlu diselesaikan menjadi kalimat utuh.

"Kamu berani macam-macam ke Reni itu, memang kamu punya apa?" tanya Ayah, dia berdecak sambil menatap gue tajam. "Otak jelas kamu nggak punya, uang pas-pasan, prestasi—masih banyak anak muda yang jauh lebih banyak prestasinya daripada kamu, masa depan cerah? Nggak juga, 'kan? Nggak ada yang pasti di dunia ini," jelasnya, menjawab pertanyaannya sendiri. "Kamu tau semuanya masih serba abu-abu—buat dirimu sendiri—kok, ya, kamu seberani itu macam-macam ke anak perempuan orang? Udah sinting kamu, La?"

Andai aja semalam gue memeriksa handphone gue, I don't think this kind of thing will happen. Andai aja, gue nggak mendahulukan nafsu gue, mungkin gue sekarang nggak akan ada di ruangan Ayah dan diinterogasi macam ini...\

Benar, ini basi. Tapi, penyesalan datangnya selalu terlambat.

"I did make a mistake, Yah." Gue menatap Ayah lurus, mengucap barusan—mengakui kesalahan gue karena hanya itu yang bisa gue lakukan sekarang. "I can't say or explain anything about my mistake this time," lanjut gue yang dihadiahi raut kecewa Ayah di seberang meja kerjanya.

It's perhaps the first time Dad has shown me such disappointment. Sebelumnya, meski gue melakukan banyak kesalahan, gagal berkali-kali—gue belum pernah melihat raut kecewa seperti itu menempel di wajah Ayah.

Dan jujur, apa yang gue liat sekarang mendadak membuat gue ikut kecewa ke diri gue sendiri. Kami bahkan belum bicara banyak, tapi dari tatapan Ayah gue sadar kalau gue melakukan kesalahan besar.

"Again, we don't need to talk about this if you're still thinking rationally. This is probably not something we should be talking about." Kepala Ayah ikut menggeleng selagi dia bicara. "Rasanya, Ayah melewati batas yang nggak seharusnya Ayah lewati. Do you know how horrible I feel right now when I decide to talk to you?"

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now