[BTC-21]

4.3K 946 254
                                    

Hatalla.





"Pusing banget kayaknya. Ada masalah?"

"Ya, jelas ada masalah. Kalau nggak, ngapain dia ada di sini?"

Gue nggak tau ini keputusan yang benar atau salah buat menghubungi Werni, Putra, dan Yuwa di saat gue lagi dalam keadaan yang sumpek begini. Bukannya tenang, gue malah tertekan dengar omelan mereka yang nggak jelas ini.

"Masalahnya apa coba? Perasaan nggak ada yang rame, tuh, di media? Semuanya tenang-tenang aja. Gue juga nggak denger selentingan macam-macam soal ATU sama kinerjanya dia di Kominfo." Werni berdecak, meminum J. S. Terrantez wine yang kami pesan begitu sampai di Bleues Notes. "Masalah, kok, kayak dosa? Bertambah terus tiap detiknya," imbuhnya yang membuat gue balik berdecak sambil menatapnya tajam.

"You did not come here to make a comment about my life, Ni." Gue akhirnya menyahut, padahal gue lagi males ngomong ataupun berinteraksi dengan orang lain saat ini.

Putra dan Yuwa langsung diam, mereka mengalihkan pandangan ke arah lain sementara Werni cuma menatap gue malas. "Sumpah, sih, kalau lo bukan Adiwangsa udah gue—" Tangan Werni mendadak bergerak nggak beraturan—seperti menonjok—ke arah udara.

Gue kembali diam, mengabaikan Werni yang masih berulah dengan tawa Putra dan Yuwa yang menimpali tingkah anehnya itu.

Meskipun gue ada di sini sejak setengah jam lalu, pikiran gue pergi nggak tahu ke mana—enggak, gue sebenernya tahu dia ada di mana.

Reni.

Cuma satu nama itu yang sejak tadi memenuhi benak gue. Well, bukan cuma tadi tapi di setiap harinya—apalagi akhir-akhir ini—cuma nama wanita itu aja yang bisa gue pikirkan, despite my best efforts to divert myself with other things, such as my other work.

Sama seperti sebelumnya, perasaan gue berubah nggak karuan setiap kali mengingat Reni dan masalah yang harus kami hadapi akhir-akhir ini, apalagi setelah kejadian terakhir kali di mana kami ada di ruangan Ririn kemarin.

Gue sama sekali nggak menyesal menunjukkan sisi lemah gue di depan Reni, sejak dulu—sejak kami mulai menjalin hubungan—rasanya gue nggak pernah menyembunyikan apa pun, kecuali rasa lelah gue yang menumpuk karena keegoisan Reni di hubungan kami.

Daripada merasa menyesal, gue merasa lega karena akhirnya bisa menangis di depan Reni. I was able to express my actual feelings in front of her, despite the fact that I had to endure the pain of watching Reni be hurt too.

Tapi, gue memang perlu memberitahu itu semua ke Reni. I need to make her aware that what she believes is wrong and contradicts the reality we are living in. Gue perlu memberitahu sekaligus mengingatkan Reni kalau di hubungan kami, semuanya ada di tangannya—gue memberikannya kendali penuh atas hubungan kami—gue ingin dia tahu kalau selama ini perasaan yang gue punya ke dia sebegitu besarnya.

Wickedly, I want her to feel the same sorrow I've been hiding from her. Gue ingin Reni merasakan semuanya.

Obrolan Putra, Werni, dan Yuwa terhenti, begitu juga dengan fokus gue yang sudah kembali penuh waktu dering handphone gue di atas meja berdering nyaring. Melihat nama Deryl di layar, gue dengan cepat mengambil handphone dan menempelkannya di telinga. "Gimana?" tanya gue tanpa basa-basi.

"Sudah saya cari di basement dan lobby, bahkan tanya ke security, Pak."

Reni pasti sudah pulang.

Kepala gue mengangguk refleks, "Sudah pulang, sih, harusnya," ucap gue, meyakinkan diri gue sendiri setelah gue merasa bersalah karena meninggalkan Reni begitu saja di basement.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now