[BTC-07]

5.6K 1K 791
                                    

 Hatalla

"Semoga kita bisa kerja sama, ya. Dicepetin aja, nggak usah ribet!" Gue cuma bisa diam waktu Ayah menjabat tangan Hestamma, Narendra, dan Algis bergantian setelah meeting kami selesai. "Meeting terus tapi nggak kerja sama, 'kan, ya, buat apa?" ucapnya bercanda, tapi gue tahu kalau Ayah benar-benar serius dengan ucapannya.

Sebenarnya, bisa dibilang kalau Ayah adalah orang yang paling berjasa dalam hubungan persahabatan gue dengan Algis, Hestamma, Jatmika, Narendra, dan Katon.

Kalau kata gue, nggak ada kebetulan di dunia ini.

Semua pada dasarnya sudah ada yang mengatur dan merancang, kebetulan mungkin bisa terjadi tapi persentasenya nggak akan tinggi.

Gue masih ingat waktu itu gue yang sibuk kuliah tiba-tiba didaftarkan untuk ikut salah satu klub rugby di New Jersey. Bayangkan, gue harus ke New Jersey di saat gue masih tinggal di Pennsylvania dan kuliah di sana dan semua itu karena gue harus ikut klub rugby!

I mean, I truly enjoy rugby, tapi di Pennsylvania juga banyak klub rugby yang bisa gue datangi dan gue ikuti kalau memang Ayah sepeduli itu sama gue sampai-sampai perlu mendaftarkan gue untuk ikut klub salah satu olahraga kesukaan gue itu.

Awalnya gue nggak menuruti Ayah. Ya, kali, gue mau nyetir mobil kurang lebih 4 jam an dari Pennsylvania ke New Jersey? Yang ada badan gue udah rontok semua sebelum main, 'kan, ya?

Sayangnya, Ayah tiba-tiba berubah murka waktu tau gue melewatkan beberapa minggu kegiatan klub rugby yang didaftarkannya itu. Aneh, 'kan? Soalnya, Ayah biasanya nggak sampai sebegitunya.

Sampai akhirnya Ayah mengungkapkan alasan sebenarnya kenapa gue harus datang, meski harus menyeret kaki gue ke New Jersey.






"Ini juga demi kelancaran kamu di masa depan tahu, nggak, La? Kalau kamu nggak ke sana, semuanya bakal susah! Ayah baru tahu kalau Algis, Narendra, dan Katon gabung di klub rugby itu, dan kamu bisa dapat kesempatan besar buat kenalan sama mereka sekaligus membangun relasi—lebih baik lagi kalau kamu bisa dekat—sahabatan—sama mereka semua! Pertemanan mereka itu kalangannya bagus-bagus, keuntungan besar kalau kamu bisa masuk ke sana, La! Kamu cuma bisa nurut sama Ayah sekarang kalau mau semuanya—masa depanmu—lancar! Ngerti, 'kan, Nak?"









Mau nggak mau, akhirnya gue menuruti Ayah. Untuk gue yang memang dasarnya extrovert dan mudah bergaul—kalau ada alasan jelas dibaliknya—bukan hal yang sulit untuk bisa dekat dengan Algis, Narendra, dan Katon meski umur kami terpaut jarak yang jauh. Semuanya juga ditambah background keluarga kami yang sama—setara—dan beberapa kesamaan di relasi yang keluarga kami punya. Sampai akhirnya gue dikenalkan ke sahabat-sahabat mereka yang lain, Jatmika dan Hestamma begitu gue balik ke Jakarta.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya gue 'dipaksa' dekat dengan orang-orang yang sekiranya bermanfaat bagi gue dan keluarga gue, dan semuanya nggak bisa dibilang berhasil juga. There are some people I can easily approach, yet we are not compatible. Nah, kalau kasusnya Algis dan lainnya ini beda. Gue memang dipaksa untuk kenal dengan mereka, tapi untungnya gue menemukan kecocokan dengan Algis, Narendra, Jatmika, Hestamma, dan Katon yang sampai membuat hubungan kami masih sebaik ini sampai sekarang.

"Lain kali, Katon sama Jatmika diajakin juga, lah. Nanti kita atur meetingnya di tempat yang lebih proper lagi buat ngurusin soal ini." Ayah menahan tangan Algis yang masih berjabat tangan dengannya.

Gue ikut menyusul berdiri dari kursi, berdiri bersebelahan dengan Hestamma yang sempat menepuk punggung gue keras. "Nanti malam coba kami bicarakan dulu, Pak," jawab Hestamma sok ramah.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now